animasi kursor

SELAMAT DATANG DI BERANDA KAMI


Kehidupan, kadang membuat kita tersenyum bahagia, namun tidak jarang membuat kita bermuram durja. Janganlah gundah karena semua itu hanyalah sebuah perjalanan menuju kehidupan abadi. Mari kita berbagi inspirasi, untuk menggapai kehidupan abadi yang bahagia, selamanya.

Selasa, 02 April 2013

JIWA BESAR



MEMBENTUK  PRIBADI INDAH DENGAN
“JIWA BESAR”
(Oleh : Nurhaj Syarifah)



BAB I
PENDAHULUAN


Setiap orang memimpikan kehidupan yang ideal, penuh dengan kebahagiaan. Bisa dikatakan, hampir tidak ada orang yang menginginkan kehidupan yang penuh masalah. Namun begitu, kehidupan selalu punya jalannya sendiri, sebuah keseimbangan. Ada senang ada sedih, ada putih ada hitam.
Akan tetapi dalam realita, kehidupan tidak selamanya berjalan baik dan seideal yang kita inginkan. Terkadang kebahagiaan datang menghampiri kita dan melambungkan kehidupan kita ke tingkat yang tinggi. Namun, pada saat yang berlainan masalah datang pada kita dan melemparkan kita ke titik rendah.
Orang-orang yang berjiwa besar akan dengan lapang dada menerima masalah yang di datangkan Tuhan. Kebesaran jiwa yang dimiliki menjadikan masalah yang datang, sebesar apapun itu, tampak kecil dan selalu bisa diselesaikan. Maka, tidaklah mengherankan jika kita sering menemui orang-orang yang selalu tampak bahagia meski seharusnya mereka bersedih karena terlibat masalah.



Orang-orang yang berjiwa besar pun tidak akan mudah terpuruk oleh datangnya masalah. Mereka selalu melihat masalah dari sudut pandang yang positif. Masalah dipandang sebagai suatu jalan untuk meningkatkan diri yang sengaja dikirimkan oleh Tuhan.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang berjiwa kecil dan kerdil, masalah adalah sebuah beban. Masalah yang seharusnya sederhana dipandang sebagai masalah besar, atau cenderung dibesar-besarkan. Dan akhirnya mereka pun terpuruk dan meratapi nasib mereka. Masalah bukan lagi dipandang sebagai suatu ujian untuk meningkatkan diri, melainkn sesuatu yang menghancurkan hidup mereka. Dan akhirnya, mengutuki Tuhan menjadi jalan yang seringkali dipilih.
Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu melalui hal-hal hina, dan itu kembali ke asal penciptaanya tadi yaitu tanah. Maka nampaklah dari dirinya akhlak yang rendah dan hina pula. Beda halnya dengan orang-orang mulia. Dimana mereka mengukur sesuatu melalui hal-hal yang tinggi dan mulia.  Sifat kerdil, hidup dalam cara berfikir sempit, hati sempit dan jiwa yang sempit pula.
Untuk meningkatkan kualitas diri manusia, Tuhan mendatangkan masalah. Dan pastinya, masalah-masalah yang kita terima tidak akan melebihi kemampuan kita untuk menyelesaikannya, artinya nilai dari masalah yang didatangkan Tuhan baru muncul ketika kita menyelesaikan masalah itu, bukan membiarkannya berlalu begitu saja.
Sebagaimana dalam kisah ilustrasi sebagai berikut :
Suatu hari ada dua orang sedang memancing. Salah satu dari dua orang itu ada  seorang bapak separuh baya sedang memancing, setiap ia mendapatkan ikan besar ia mengeluh dan langsung melempar hasil pancinganya ke air, ia lakukan itu terus berkali-kali. Sikapnya yang aneh menarik perhatian teman sebelahnya, lalu ia bertanya kepadanya “kenapa kau lempar ikan besar hasil pancingan terus, padahal itu yang kita cari”, sambil menggerutu bapak separuh baya ini menjawab “habis ikan kebesaran sementara di rumah saya hanya ada kuali kecil, bagaimana bisa memasaknya, ga muat”.
Serupa dengan bapak yang sering membuang ikan besar ketika memancing, ada banyak orang yang terbelenggu pikiranya sendiri, menyadarkan kita tentang pikiran dan jiwa yang sempit. Kesempatan, rizki, peluang selalu datang seperti ikan besar dalam hidup kita begitu sering sayangnya kuali kita terlalu kecil untuknya. Kuali itulah pikiran kita, jiwa kita. Mereka yang berjiwa besar bukan memperbesar masalahnya, namun ia selalu memperbesar impianya dan memperkuat niatnya sehingga memiliki rencana yang luar biasa. Sementara berjiwa kerdil ia hanya memperbesar masalah yang ada untuk semakin besar dengan cara mengeluh dan marah.
Kita semua percaya bahwa Tuhan selalu memiliki tujuan dengan memberikan masalah hidup pada kita. Namun begitu, kita tidak bisa begitu saja membiarkan berlalu, atau menganggapnya telah selesai. Harus ada usaha untuk menyelesaikannya sehingga tujuan dan nilai itu bisa kita singkap.

Jika kita selalu mendapatkan kehidupan yang membahagiakan, kehidupan akan terasa hambar, adem ayem. Dengan datangnya masalah, kehidupan akan terasa semakin dinamis dan menyenangkan karena ada banyak tantangan yang harus kita lewati. Namun begitu, kita harus berbesar jiwa ketika masalah datang pada kita sehingga kita selalu memiliki sudut pandang yang positif, bukan malah menggerutu dan mengutuki kehidupan kita.
Memang, tidak akan ada orang yang memimpikan kehidupan yang penuh masalah. Orang akan lebih suka mengidamkan kehidupan yang damai. Namun begitu, ketika masalah datang, ia harus kita hadapi dengan gagah berani dan lapang dada.
Jadilah orang yang berfikir. Hadir dengan hati dan kemudian mendulang manfaat dan hikmah darinya. Perbaharui hidup kita, tingkatkan akhlak kita, kemudian berubahlah. Lalu kembali dengan wajah berubah, suasana dan akhlak yang berbeda pula.
Yang penting bukan orang menganggap baik, kemudian senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling utama adalah perubahan, dan ada akhlak yang berubah. Orang yang halus lembut bukan orang yang lembut saat senang saja, tapi juga pada saat marah. Yang namanya akhlak, bukan hanya dapat tersenyum kepada saudara kita saat bersama teman-teman, bersama orang-orang yang duduk di majelis, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    JIWA BESAR
1.      Definisi Jiwa Besar
a.       Menurut Dr. Khalid bin Utsman, telah mengemukakan beberapa pengertian tentang jiwa besar yakni sebagai berikut:
1)      Istilah jiwa besar diambil dari konsep ‘akhlaqul kibar’, yang dimaksud kibar di sini dalam bahasa Arab bukan yang berumur kibar (tua), namun maksudnya adalah ashaab an nufuus al kabiirah atau orang yang memiliki jiwa besar. Maksud akhlaqul kibar di sini adalah orang yang berjiwa besar, bukan yang berjiwa kerdil dimana senang jika dipuji dan marah bila dicela.
2)      Dalam bahasa Arab, ‘kibar’ bisa berarti tua dan bisa berarti tinggi jabatannya, akan tetapi orang yang berjiwa besar adalah orang yang menyikapi sesuatu untuk satu kepentingan besar, kemaslahatan Islam dan kaum muslimin serta bukan atas dasar kepentingan pribadi.
3)      Orang yang berjiwa besar adalah orang yang berusaha mengurai simpul-simpul yang melingkupi jiwanya dengan melepaskan diri dari semua keinginan hawa nafsunya.
4)      Dengan adanya Allah Ta'ala menyifati Dzat-Nya dengan sifat al 'afuu (Yang Maha Mengampuni)
Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Allah al 'afuu adalah Allah membiarkan hamba-Nya, mengampuni mereka yang berbuat kesalahan dan tidak menimpakan adzab atasnya secara spontan kala mereka durhaka pada-Nya. Kita memohon pada Allah agar menaungi kita dengan segala ampunan dan kemurahan-Nya. ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal, menjelaskan tentang keutamaan sikap 'afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan diri kita. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
َسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Artinya : "Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia".(Qs: Fushilat : 34). [1]
5)      Jiwa yang besar dapat diartikan pula dengan membela diri sendiri (al-intishar 'ala an-nafs) dan membela agama. [2]
Banyak orang rancu atau mencampuradukkan antara sikap mempertahankan diri sendiri serta hawa nafsunya dan mempertahankan agama, juga kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Hingga apabila marah dan membalas, dia menyangka hal ini dalam rangka mempertahankan jati diri-nya sebagai seorang mukmin. Sebagaimana dalam firman Allah swt:
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Artinya : "Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri." (Qs: As-Syura : 39). [3]


b.      Menurut Dudung Abdul Rahman, Jiwa besar adalah lapang dada menerima masalah yang didatangkan Tuhan, tidak akan mudah terpuruk oleh datangnya masalah.[4]
Di dalam dada yang lapang dan hati yang bersih itulah bersemayam iman dan takwa. Orang yang bersih hati dan lapang dada, seperti dikemukakan di atas, tak lain adalah orang-orang yang mampu menekan secara maksimal kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada dalam dirinya, seperti rasa benci, dengki, iri hati, dan dendam kesumat.
Sebaliknya, ia juga mampu dan berhasil mengembangkan potensi-potensi baik yang ada dalam dirinya menjadi kualitas-kualitas moral (akhlaq al-karimah) yang nyata dan aktual dalam kehidupannya.
Hanya orang yang lapang dada dan bersih hati seperti itu mampu dan sanggup mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, seperti dianjurkan oleh Nabi SAW.
Juga hanya orang seperti itu yang dapat merasa senang dan gembira apabila melihat saudaranya mendapat kebaikan dan anugerah dari Allah SWT.
Orang yang demikian itu pula yang kelak akan mendapat perlindungan dari Allah SWT.

c.       Adapun  pengertian Jiwa besar menurut Faturochman yakni : Kekuatan dalam berpikir Positif, dalam artian memanajemen pikiran kita, karena keberhasilan seseorang didasarkan dari bagaimana orang itu berpikir mengenai dirinya. Jika ia berpikir mampu untuk berhasil maka keberhasilan akan diraihnya. Namun jika ia berpikir bahwa ia tidak akan mungkin berhasil, maka keberhasilan akan menjauh darinya.[5]
Keberhasilan seseorang didasarkan dari bagaimana orang itu berpikir mengenai dirinya. Jika ia berpikir mampu untuk berhasil maka keberhasilan akan diraihnya. Namun jika ia berpikir bahwa ia tidak akan mungkin berhasil, maka keberhasilan akan menjauh darinya. Pikiran optimis akan menjadikan pribadi seseorang makin percaya diri dengan apa yang dilakukannya. Sedangkan pikiran pesimis akan berlaku sebaliknya. Jangankan untuk melakukan sesuatu, hanya sekedar memikirkan idenya saja ia akan merasa bahwa apapun yang dilakukan tidak akan berhasil. 

d.      Definisi jiwa besar menurut Toto Tasmara adalah  keberanian untuk memaafkan dan sekaligus melupakan perbuatan yang pernah dilakukan oleh oranglain (to forgive and forget). [6]
Orang yang cerdas secara ruhaniah adalah mereka yang mampu memaafkan, betapapun pedihnyakesalahan yang pernah dibuat orang tersebut pada dirinya. Karena mereka menyadari bahwa sikap pemberian maaf, bukan saja sebagai bukti kesalehan, melainkan salah satu bentuk tanggungjawab hidupnya yakni kita hidup sendiri tanpa oranglain.
           
2.      Ciri-ciri Orang yang Berjiwa Besar
Menurut Prof.Dr. K.H. Didin Hafidhuddin mengemukakan bahwa tidak lah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan di antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. [7]
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar (berjiwa besar) dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
Dalam QS Fussilat (41) Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Artinya :"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar". (Qs: Fushilat : 35). [8]

Ayat ini secara tegas memberikan pedoman dan petunjuk tentang kebaikan dan keburukan serta sikap dan tata cara menghadapinya.
Adapun ciri-ciri orang yang berjiwa besar, diantaranya sebagai berikut :
a.       Kebaikan, seperti keadilan, kesejahteraan, keindahan, dan kemanfaatan tak akan pernah sama dengan keburukan, seperti kezaliman, kesenjangan, dan kemudharatan. Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang senang memproduksi dan melahirkan kebaikan-kebaikan yang bermanfaat, baik bagi dirinya, keluarganya, lingkungannya, maupun masyarakat dan bangsanya.
Ketika ia bermuamalah dengan sesamanya, ia berusaha dengan muamalah hasanah yang mencerminkan nilai-nilai keislam an yang menjadi pandangan hi dupnya. Ia akan berusaha menjenguk tetangganya yang sakit, memberi pertolongan pada orang yang mem butuhkan, memperhatikan kehidupan orang-orang fakir miskin, anak-anak yatim, serta kaum dhuafa lainnya.
b.      Ketidakbaikan/ keburukan yang diterimanya dari orang lain, seperti sikap-sikap sinis, apriori, dan selalu disalahkan, orang yang beriman tidak serta-merta membalasnya dengan sikap serupa. Kadang kala ia pun membalasnya dengan kebaikan. Ketika orang lain memutus kan tali persaudaraan, ia berusaha menyambungkannya kembali.
Ketika orang lain enggan berkunjung kepadanya, ia berusaha mengunjunginya. Ketika orang lain berlaku kikir kepadanya, ia berusaha untuk bermurah hati kepadanya. Sikap yang semacam inilah yang dianjurkan oleh ayat tersebut sehingga menyebabkan perubahan keadaan, yang asalnya membenci menjadi mencintai dan yang asalnya menjadi lawan dan musuh bisa menjadi sahabat setia yang senasib dan sepenanggungan.
Tetapi, ayat tersebut mengingatkan kepada kita bahwa sikap-sikap yang semacam ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang mendapatkan anugerah Allah SWT, memiliki jiwa besar, kesabaran, dan keuletan yang tinggi.


B.     HIDUP DENGAN JIWA BESAR
Sebuah kolam air akan segera penuh dengan batu saat sebuah truk berisi batu di tumpahkan diatasnya. Namun, jika batu-batu itu ditumpahkan diatas sungai, atau bahkan samudra, kehadirannya tidak akan membawa efek apapun. Batu-batu itu akan tertelan dan menghilang. Begitulah pengumpamaan kebesaran jiwa kita dalam menerima masalah.
Dekatkanlah hati dan pikiran dengan orang-orang yang berjiwa besar, karena mereka hidup dan berkarya untuk membesarkan jiwa sesamanya, menjadi rahmat bagi alam ini. Mereka yang bercita-cita besar untuk menyelamatkan lingkungan hidup, menyelamatkan negara dari kebobrokan pengelolaan, mendamaikan dunia, dan mengajak manusia ke jalan cinta dan kasih sayang. Adapun jiwa besar yang dekat sekali dengan realita kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut :
1.      Berjiwa Besar dengan Sedekah
Jiwa Besar adalah Jiwa Pemberi, sedangkan jiwa kerdil adalah jiwa peminta-minta, kecuali kepada Allah ta’ala. Dan semua itu kita bebas memilih untuk berjiwa besar atau bermentalitas kerdil. Setiap pemberian , apapun bentuknya dan seberapapun kadarnya, bias bernilai sedekah tinggi, termasuk dengan sekedar memberikan senyuman cerah dan sapaan ramah. Dalam kondisi dan situasi leluasa memilih, sebisa mungkin utamakan dan prioritaskan selalu bentuk-bentuk atau jenis-jenis pemberian yang bernilai istimewa yakni yang memperhatikan, mempertimbangkan dan memadukan antara kemampuan yang ada dan kebutuhan penerima.
Setiap kali melihat kesulitan, seseorang yang berjiwa besar justru akan menikmati kesulitan itu dengan memacu diri untuk mengalahkannya. Begitu ia memperlakukan suatu kesulitan; melihatnya lalu tersenyum, menyiasatinya lalu tersenyum, dan berusaha mengalahkannya lalu tersenyum.
Kesulitan-kesulitan dalam kehidupan ini merupakan perkara yang nisbi. Yakni, segala sesuatu akan terasa sulit bagi jiwa yang kerdil, tapi bagi jiwa yang besar tidak ada istilah kesulitan besar. Jiwa yang besar akan semakin besar karena mampu mengatasi kesulitan-kesulitan itu. Sementara jiwa yang kecil akan semakin sakit, karena selalu menghindar dari kesulitan itu. Kesulitan itu ibarat anjing yang siap menggigit; ia akan menggonggong dan mengejar Anda bila Anda tampak ketakutan saat melihatnya.

BerMental Kaya bukan karna banyak nya harta
tapi memiliki jiwa berbagi yang luar biasa,
tidak akan kekurangan bagi mereka yang bersedekah
dan tidak akan menemui kesulitan
berarti bagi mereka yang senang menanam benih kebaikan

Bersedekahlah tanpa "memaksakan" bentuk balasan Allah atas sedekah itu.[9] Walaupun banyak pengalaman menunjukan bahwa kalau bersedekah uang akan di balas dengan uang yang lebih banyak, namun kita tak layak mengharap seperti itu. Siapa tahu sedekah itu dibalas Allah dengan kesehatan, Keselamatan, rasa tenang, dll, yang nilainya jauh lebih besar dari nilai uang yang disedekahkan.
Agar seseorang bisa berjiwa besar dan bermentalitas pemberi, diperlukan untuknya dasar keimanan yang baik, kesadaran yang memadai dan pembiasaan diri yang cukup.
Sementara itu perlu dipahami dan disadari benar bahwa, dalam kaedah fiqih pemberian, yang terpenting itu bukanlah apa dan berapa kadar yang diberikan. Melainkan seikhlas apa hati seseorang saat memberikan apapun yang dipunyainya.
Sebagaimana penting sekali selalu diingat bahwa, setiap pemberian, apapun bentuknya dan seberapapun kadarnya, bisa bernilai sedekah tinggi, termasuk dengan sekadar memberikan senyuman cerah, sapaan ramah atau kata-kata yang mengarah dan menggugah.
Dan satu kaedah lagi yang sangat penting diingat dan disadari bahwa, jika kita telah ikhlas, jujur dan sungguh-sungguh memilih jalan hidup untuk berjiwa besar dengan menjadi pemberi, maka kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa, Allah pasti menjamin untuk selalu menyediakan apa-apa yang harus dan layak kita berikan.
“Tangan diatas (penginfak/pemberi) itu lebih baik dan lebih mulia daripada tangan dibawah (peminta) “
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).

2.      Pemimpin yang membangun Fikiran dan Jiwa Besar
Pemimpin yang benar-benar pemimpin selalu dituntut menyandang pikiran dan jiwa besar. Besar kecilnya pikiran dan jiwa seseorang bisa dilihat dari batas-batas yang dipikirkannya. Orang besar selalu memikirkan orang banyak. Dia akan melupakan kepentingan diri sendiri, dan bahkan keluarganya. Seorang pemimpin yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, dan atau juga keluarganya, maka jangan disebut sebagai pemimpin yang berjiwa besar.
Jika organisasi terbaik adalah yang memberi manfaat bagi organisasi lainnya, maka tidak semestinya terjadi persaingan, kompetisi, dan apalagi konflik di antara berbagai organisasi, apalagi sama-sama organisasi sosial keagamaan. Sebab masing-masing organisasi menginkan menjadi organisasi yang terbaik. Sedangkan agar menjadi yang terbaik, maka harus berusaha memberi manfaat bagi organisasi lainnya. Organisasi yang hanya berhasil memberi manfaat bagi anggotanya, maka belum disebut sebagai yang terbaik.
Mereka yang selalu berpikir dan berusaha memberikan manfaat paling banyak itulah disebut telah menyandang jiwa besar. Mereka tidak lagi memiliki aku kecil, tetapi akunya sudah besar, artinya yang dipikirkan tidak saja dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, organisasinya sendiri, tetapi adalah kepentingan orang, kelompok dan banyak organisasi yang lebih luas. Apa yang dipikirkan oleh mereka sudah menembus batas-batas kepentingan dirinya, kelompoknya, dan bahkan juga organisasinya.
                       
3.      Berjiwa Besar dengan (Saling) Memaafkan
Ketika dendam tak bisa lagi diredam, ketika amarah semakin membuncah, seperti tertutup mata hati, yang ada menghakimi. Dan lalu mencaci, memaki, menghinakan tanpa ampun seolah yang salah selamanya nista. Padahal, tidak selalu apa yang terdengar itu murni benar, tidak selalu apa yang terlihat itu nyata.
Sekali lagi setiap orang mungkin pernah salah dan melukai, tapi bisa saja tidak semuanya atas dasar kesengajaan dan tidak selamanya dia tidak menjadi benar. dan kesalahan masa lalu mungkin tidak selalu bisa dilupakan tapi marilah kita berjalan ke depan tanpa beban masa lalu, marilah dengan jiwa besar memaafkan dan tinggalkan, semoga kita mampu menjadi orang-orang yang mampu memaafkan. Agar hidup kita lebih tentram dan hati tenang.
Allah memberikan salah satu cirri orang yang bertanggungjawab adalah mereka yang mampu mengendalikan amarah (kecerdasan emosional) dan mampu memaafkan kesalahan oranglain.
Seorang yang cerdas secara ruhaniah, memiliki sikap pemaaf yang sangat besar seakan lebur dalam cintanya yang sangat mendalam terhadap kebenaran (ash-shiddiq) dan sekaligus sangat besar kepeduliannya kepada kemanusiaan.
Keberanian untuk memaafkan dan berjiwa besar telah memberikan kekuatan tersendiri kepada para manajer dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Mereka bekerja dengan tetap mendengarkan suara hatinya. Mereka mempunyai kepercayaan diri yang kuat.

4.      Jiwa Besar dan Mulia dalam Pernikahan
Berjiwa besar dan mulia sebagai sebuah sifat manusiawi mengggambarkan perwujudan akhlak terindah. Masalah ini, terlibat aktif dalam berbagai momen sosial terlebih dalam kehidupan bersama. Suami-istri harus saling memiliki jiwa besar lebih dari komunitas lain. Salah satu ciri mulia dan berjiwa besar adalah sikap pemaaf dan toleransi antarsesama. Kehidupan bersama dimana suami-istri secara alamiah saling mengetahui kondisi jiwa, mental, dan kekurangan masing-masing.
Tidak ada yang lebih indah di dalam hidup ini bagi orang yang jatuh cinta, hati berbunga-bunga, sejuta rasanya, keindahan cinta ditemukan ikatan pernikahan. Pernikahan akan menemukan ujian yang berat bila di dalamnya sudah tidak ada lagi rasa cinta. Maka saling terkait antara cinta dan pernikahan. Pernikahan yang mengolah semua bentuk ungkapan cinta antara laki-laki dan perempuan dari tutur kata, perilaku hingga sentuhan penuh romantisme. Itulah yang mampu membawa jiwa terbang ke awan, melambung tinggi seolah memasuki surga firdausy nan penuh keindahan, ketenteraman dan ketenangan jiwa.
Namun, saat yang dibayangkan hanya keindahan, itu akan menjadi harapan yang mengeras dan harus jadi kenyataan. Efek negatifnya, ketika pernikahan yang dilaluinya tidak seindah yang dibayangkan, jiwanya bisa tidak siap menghadapi sehingga lebih sakit terasa atau segera kecewa. Saat ada problematika dalam kehidupan rumah tangga yang sama sekali berbeda dengan bayangan sebelumnya bisa menjadi masalah besar. Meskipun sebenarnya problem itu wajar dalam interaksi suami istri pada umumnya.
C.    KIAT-KIAT UNTUK BERJIWA BESAR
Kebesaran jiwa bukanlah warisan dan kekerdilan jiwa bukan malapetaka. Kita bisa belajar mengembangkan kebesaran jiwa kita dengan kemauan dan ketekunan.
1.      Beranilah mengakui kesalahan yang anda perbuat. Hanya orang yang berjiwa kerdil yang suka menyembunyikan kesalahannya dan suka mencari kambing hitam.
2.      Beranilah mengakui kesalahan, kelemahan dan keterbatasan anda. Semuanya itu tidak mencerminkan sikap yang rendah diri, tapi justru menunjukkan sikap yang sportif.
3.      Belajarlah untuk memaafkan kesalahan orang lain. Hanya orang yang berjiwa besar yang bisa memaafkan, orang yang lemah cenderung mudah membenci dan menyimpan kesalahan orang lain.
4.      Belajarlah untuk bersikap rendah hati. Hindari kebiasaan menyombongkan diri atas prestasi atau keunggulan apapun yang anda miliki. Kesombongan biasanya mencerminkan harga diri yang rendah dari orang yang berjiwa kecil. Tapi kerendahan hati menunjukan harga diri yang tinggi dari orang yang berjiwa besar.
5.      Beranilah bertanggung jawab atas apapun yang anda katakan dan lakukan. Orang-orang yang berjiwa pengecut biasanya tidak berani bertanggung jawab, bahkan sering melemparkan tanggung jawab kepada aorang lain.
6.      Tingkatkan terus rasa percaya diri anda. Hindari kebiasaan membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Mereka mungkin lebih hebat dan lebih berbobot, tapi itu bukan ukuran untuk meilai diri anda tidak berarti.
7.      Berusahalah untuk tetap bersikap tenang dalam situasi dan kondisi yang buruk. Hindari mengambil keputusan penting ketika pikiran dan perasaan Anda sedang tidak menentu, apalagi dalam keadaan emosional.
8.      Biasakanlah diri Anda untuk tidak takut mengambil risiko. Tempat yang aman dan kondisi yang nyaman bisa menciptakan status quo dan tidak baik bagi perkembangan jiwa Anda.
9.      Beranilah untuk mengalami kegagalan, karena kegagalan memberikan banyak sekali pelajaran berharga. Orang-orang berjiwa besar biasanya dibesarkan oleh kegagalan, tapi sebaliknya, orang-orang berjiwa kerdil umumnya dilumpuhkan oleh kegagalan.
10.  Bersikaplah optimis,pandanglah masa deapan dengan penuh harapan. Belajarlah melihat hambatan sebagai tantangan untuk ditaklukan, dan masalah sebagai kesempatan untuk memperkuat karalter.
11.  Bersikaplah tegas dalam membela hak-hak Anda. Jangan takut pada penolakan dan jangan alergi pada perbedaan. Jangan berusaha untuk menyenangkan semua orang apalagi dengan mengorbanan harga diri Anda. Jangan merasa terganggu oleh sikap pro atau kontra selama Anda berdiri pada prinsip yang benar.
12.  Belajarlah untuk melihat semua persoalan secara proporsional. Hindari kebiasaan membesar-besarkan msasalah kecil. Jangan biarkan diri Anda dipusingkan dengan urusan-urusan sepele. Don’t sweat the small stuff.
13.  Belajarah menerima oreang laiun sebagaimana adanya. Jangan berusaha atau menuntut orang lain berubah sesuai harapan dan keinginan Anda. Namun tidak ada salahnya Anda memotivasi mereka untuk lebih berkembang.
14.  Belajarlah untuk melihat kebaikan dan keistimewaan oran lain. Dengan begitu Anda tidak akan terlalu terganggu oleh kelemahannya.
15.  Belajarlah untuk membuat orang lain merasa bangga dengan dirinya. Hanya orang yang berjiwa besar yang dapat membantu orang lain menjadi lebih percaya diri.
16.  Belajarlah untuk bisa ikut bergembira atas keberhasilan orang lain. Rasa iri dan tidak suka atas sukses yang diraih orang lain mengungkapkan harga diri yang rendah.
17.  Biasakanlah untuk menghargai pendapat dan keyakinan orang lain meskipun berbeda dengan pendapat dan keyakinan Anda. Picik sekali orang yang menganggap dirinya sudah memborong semua kebenaran.
18.  Terimalah setiap kritik dengan lapang dada, buka dengan kemarahan dan penjelasan panjang lebar. Bagaimanapun bentuknya, sebetulnya kritik merupakan pemberian yang sangat berharga bagi perkembangan diri Anda.
19.  Selesaikan setiap konflik dengan prinsip win-win solution, solusi menang-menang. Masalah terselesaikan tanpa ada pihak yang merasa dikalahkan oleh yang lain. Hanya orang yang berjiwa kecil yang selalu ingin menang sendiri.
20.  Berpikirlah besar, bercita-citalah besar dan berharaplah yang terbaik. Bahkan ketika Anda menghadapi kenyataan yang sebaliknya, bertahanlah! Biarkan kebesaran jiwa Anda teruji dalam berbagai kesukaran.[10]

D.    INDAHNYA JIWA BESAR
Dalam kehidupan kita banyak yang sulit menerima apa yang sudah dimilikinya atau apa yang sudah didapatnya. Saat perjuangan berat sudah dilakukan tetapi ternyata hasilnya tak sesuai harapan hal yang paling mudah adalah kecewa dan meratapinya. Dalam kondisi begitu, jangankan bersyukur.. menyalahkan faktor ketidakberuntungan dan hal lainnya lebih mudah dilakukan.
Di situlah tantangannya. Bersyukur ketika kita mendapatkan berkah, meraih prestasi tinggi, kelimpahan rezeki adalah hal biasa. Tetapi jika kita bisa bersyukur saat sedang tertimpa kegagalan atau tertimpa musibah akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Dan hanya orang yang berjiwa besar yang bisa melakukannya.
Bagi orang yang berjiwa besar, setiap kegagalan diyakini pasti ada sesuatu di baliknya berupa bahan pelajaran yang bisa diambil untuk memperbaiki kehidupan di depannya. Ia diingatkan oleh sesuatu. Mungkin kerjanya belum optimal, mungkin kerjanya kurang keras, mungkin ada tahapan yang salah yang dilakukannya. Itulah sebabnya dengan jiwa besar mereka mensyukurinya. Ia selalu berpikiran positif.
Tetapi orang yang berjiwa sempit akan menimpakan kegagalan itu pada orang lain. Ia merasa apa yang dilakukannya sudah benar, tapi orang lain membuatnya gagal. Pikiran negatif itu menutup dirinya untuk melihat permasalahannya dengan pandangan lebih luas. Padahal banyak orang yang bisa mengubah hidupnya menjadi sukses luar biasa dari kegagalannya.
Kita dapat selalu tersenyum walaupun sedang menghadapi masalah hidup. Maka selanjutnya hidupmu akan selalu optimis.
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Jiwa Besar menggambarkan kondisi jiwa yang dapat menerima segala sesuatu yang terjadi pada dirinya dengan selalu kelihatan optimis. Jiwa besar terlihat sebagai sesuatu yang oprimis dan tetap tersenyum, selalu ceria dalam keadaan apapun meskipun itu sedang tidak mengenakkan. Bisa jadi Jiwa Besar juga menggambarkan keadaan jiwa yang dapat dengan lapang dada, ikhlas terhada sesuatu yang telah terjadi. Jiwa Besar adalah sesuatu yang harus dilatih mengingat sifat manusia yang cenderung menginginkan sesuatu sesuai dengan pikiran dan imajinasinya.
Sebagai manusia biasa pastilah kita banyak kekurangan...pastilah jauh dari sempurna...karena kesempurnaan hanya milik Allah Swt.
Tetapi, tidak boleh karena pendapat seperti itu membuat kita berhenti untuk berusaha menjadi  manusia dengan pribadi yang lebih baik.
Oleh sebab itu, memperbaiki diri, berbenah pribadi danberusaha menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.Dengan modal kemauan dan do’a,  InsyaAllah kita pasti mampu selalu optimis menghadapi kehidupan ini.

B.     SARAN-SARAN
1.      Memiliki jiwa besar bukan datang begitu saja. Kita harus melatihnya setiap saat. Ketika kita menghadapi tahapan hidup yang mengecewakan, mari coba berpikir positif. Bahwa itu adalah anak tangga kehidupan yang bisa kita lewati dengan baik dan kita akan menemukan jalan lebih baik di depannya. Sebaliknya, ketika kita menghadapi kesuksesan, kita pun bisa menyadari bahwa hal ini suatu saat akan hilang juga. Dengan demikian kita tak akan menggerutu atau menyesal jika gagal, menangis ketika apa yang sudah didapat hilang. Kita akan bisa menerima keadaan dengan baik.
2.      Kebahagiaan otentik (authentic happiness) hanya dirasakan oleh orang yang memiliki jiwa sehat. Tak ubahnya seperti tubuh sehat, jiwa sehat pun harus diraih melalui latihan, kesungguhan, dan disiplin diri.
Bukalah pintu hatimu, milikilah jiwa besar dan NIKMATILAH kebaikan Allah yang mengalir setiap saat nikmat yang tidak bisa kita hitung.





DAFTAR PUSTAKA


Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Asy-Syarif Madinah Al Munawwarah, Kerajaan Arab Saudi, 1430 H

Affandi Ridwan, Ilmu sebagai Lentera Kehidupan, Bogor: IPB Press, 2006.

Ahmad bin Abdul Aziz al Hulaibi, Dasar Membid’ahkan Orang menurut Syakhul Islam Ibnu Taimiyah, Penerbit ELBA, Yogyakarta: Sarana Hidayah, 2002

Al Qardawy Yusuf, Iman dan Kehidupan, Alih bahasa Fachruddin, Jakarta: Bulan Bintang , 1983

An Nawawi Imam, Olah batin Orang-orang Shalih (Riyadhus Shalihin), DIVA Press Yogyakarta (Anggota IKAPI), Cet.I, 2011.

Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.

Ellzaky Jamal, Buku Induk Mu’jizat Kesehatan Ibadah, Zaman, Cetakan II, Jakarta,2011

Fahri, Mencari Ketenangan Jiwa, Pekalongan, Bahagia, 1986

Hafidhuddin Didin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq, Sedekah, Yogyakarta: Gema Insani, 2001

Hafidhuddin Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Yogyakarta: Gema Insani, 2001

Hans Jen, Strategi Pengembangan Diri (Untuk Kesuksesan Fisik, Intelektual, Emosi, Sosial, Finansial dan Spiritual), Jakarta : Personal Development Training, Cet 2, 2006

Masrur Muhammad, Nikmat Dunia Akhirat Masuk Surga, Pustaka Media Surabaya, Cetakan I, 2008

Muhammad Syaikh bin Abdil Wahhab al Wushabi,  Indahnya memaafkan dan menahan marah, Surabaya: Gema Ilmu, 2001

Mujib Fathul bin Bachrudin, Kunci Ibadah Praktis menurut Tuntunan Rasulullah: Tatacara bersuci, sholat, pengurusan jenazah, zakat dan Puasa, Yogyakarta: Gema Ilmu, 2002

Qordhowi Yusuf, Al Qur’an Menyuruh Kita Sabar, Gema Insani, Jakarta, Cet. 23, 2007

Qudri Fathi Muhammad, Panduan Keluarga Sakinah (Bekal Bagi Para Perindu Rumahtangga Bahagia), Qaula, Solo, Cet.I, 2007.

Rahman Abdul Dudung, Resep Hidup Bangkit dari Keterpurukan, Pengantar: KH.Syaiful Islam Mubarrok / Direktur MAQDIS Bandung, Media Qalbu, Cet.I, 2005

Ridha Akram, Kiat Sukses Mencapai Kebahagiaan Hidup, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006

Salaby Rahim Mas, Mengatasi Kegoncangan Jiwa (Perspektif Al Qur’an dan Sains),  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005

Schwartz David, Berpikir dan Penjiwa Besar (The Magic of Thinking Big), Diresensi : Ruthadaning Inayati, Penerbit : Bina Rupa Aksara, 2007

Shihab Quraish, Membumikan Al Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Mizan Media Ummat/MMU, Cet. III, 2009

Tasmara Toto, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence): Membentuk Kepribadian yang Bertanggungjawab, Profesional dan Berakhlak, Yogyakarta: Gema Insani, 2001

Thalib Muhammad, Tuntunan Istighfar dan Tobat (Cara, Ketentuan dan Keutamaannya), Penerbit Ma’alimul Usroh, Yogyakarta, cetakan I, 2001




[1] Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud, Al Qur’an dan Terjemahnya, Asy-Syarif Madinah Al Munawwarah, Kerajaan Arab Saudi, 1430 H
[2] Ahmad bin Abdul Aziz al Hulaibi, Dasar Membid’ahkan Orang menurut Syakhul Islam Ibnu Taimiyah, Penerbit ELBA, Yogyakarta: Sarana Hidayah, 2002

[3] Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007, hlm.

[4] Dudung Abdul Rahman, Resep Hidup Bangkit dari Keterpurukan, Pengantar: KH.Syaiful Islam Mubarrok / Direktur MAQDIS Bandung, Media Qalbu, Cet.I, 2005

[5] David Schwartz , Berpikir dan Penjiwa Besar (The Magic of Thinking Big), Diresensi : Ruthadaning Inayati, Penerbit : Bina Rupa Aksara, 2007

[6] Toto Tasmara , Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intellegence): Membentuk Kepribadian yang Bertanggungjawab, Profesional dan Berakhlak, Yogyakarta: Gema Insani, 2001

[7] Didin Hafidhuddin , Panduan Praktis tentang Zakat, Infaq, Sedekah, Yogyakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 103

[8] Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.

[9] Hafidhuddin Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Yogyakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 95

[10] Jen Hans Jen, Strategi Pengembangan Diri (Untuk Kesuksesan Fisik, Intelektual, Emosi, Sosial, Finansial dan Spiritual), Jakarta : Personal Development Training, Cet 2, 2006, hlm.183.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar