SABAR, KERJA KERAS DAN
MENGHARGAI WAKTU
DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Oleh : Nurhaj Syarifah,S.Ag.
PENDAHULUAN
Sudah menjadi Sunatullah, dalam kehidupan ini semua manusia tidak akan
hidup dan tidak akan meraih kesuksesan bila tidak beramal, bahkan rezekipun
tidak akan diperoleh bila kita tidak beramal. Dalam sejarah manusiapun yang
dicatat adalah kaum terdahulu dan kaum yang akan datang berdiri di atas
landasan amal bukan manusia yang hanya mengeluarkan slogan-slogan kosong yang
tidak bermakna. Amal atau karya merupakan tuntutan semua aspek kehidupan
sekaligus menjadi tolok ukur sebuah keberhasilan. Pada saat sedang mentadabburi
ayat-ayat Al Qur’an kita akan menemukan ayat-ayat yang menegaskan amat urgennya
masalah amal yang menjadikannya sebagai tuntutan dasar yakni : Keimanan harus
disertai dengan amal. Amal juga harus disertai dengan ilmu. Ilmu dan amal harus
dengan keimanan. Sedangkan selain iman, amal dan ilmu harus diperlukan
kesabaran. Iman dan ilmu adalah dua
faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf
peradaban, iman adalah suatu reaksi pada suatu gerak batin menuju apa yang
diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim sedangkan
ilmu merupakan tumpukan pengetahuan yang menentukan arti hidup manusia.
Kedua-duanya dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja tanpa ada pertentangan
antara keduanya.
Seorang pribadi muslim yang mendapatkan amanah untuk menghidupkan iman
dalam bentuk amal shaleh, tidak mungkin membuang waktu tanpa manfaat. Akan
tetapi, jika membuang-buang waktu, mereka tidak pernah mencapai puncak dengan
cemerlang. Para pekerja yang bermalas-malasan membuang waktu pada hakikatnya
berjiwa kerdil, pengecut, tidak memiliki tanggungjawab dan kehilangan orientasi
untuk menatap masa depannya. Al Qur`an memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan
waktu semaksimal mungkin bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh
ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang
dimilikinya. Hendaknya waktu digunakan untuk beribadah, ibadah dalam hal ini menitikberatkan
pada kerja yang bisa membuahkan hasil dan bermanfaat yakni bekerja disertai
dengan keberhasilan yang sesuai dengan kapasitasnya. Kerja atau amal dalam
bahasa Al Qur`an tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi bekerja
secara sungguh-sungguh, sepenuh hati. Surat Al Ashr dan surat Al Insyirah
memberi petunjuk untuk umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
suatu pekerjaan walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain dengan
menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt.
Al Qur`an tidak memberikan peluang untuk menganggur sepanjang masih ada
masa yakni memenuhi waktu dengan kerja keras.
Surat Al Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya
mengandalkan iman saja melainkan juga amal shalihnya. Bahkan amal shalih dengan
imanpun belum cukup karena masih membutuhkan ilmu. Demikian amal shalih dan
ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang
merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat
menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, perlu selalu
menerima nasihat agar tabah dan sabar (saling mewasiati tentang kebenaran dan
kesabaran) sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal dan
pengetahuannya.
Kaum muslimin mempunyai semangat kerja yang
demikian kuat dan mendasar karena bermuara pada iman, berhubungan langsung
dengan kekuatan Allah dan merupakan persoalan hidup dan mati, akan tetapi kaum
muslimin belum tahu bila mereka mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat
dahsyat. Dengan berusaha keras, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan
penuh kegairahan dan secara pasti akan mengembalikan harga dirinya sehingga
disegani oleh umat lain. Tentunya dengan manajemen waktu yang baik dan ditempuh
dengan penuh kesabaran. Islam sangat menjunjung tinggi kerja keras dan
produktivitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan, karena kedua
sifat itu merupakan kriteria orang yang tidak sungguh-sungguh dan serius. Waktu
merupakan rasa tanggungjawab yang sangat besar untuk kemuliaan hidupnya sebagai
wadah produktivitas.
PEMBAHASAN
A.
KERJA KERAS
Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kegiatan melakukan
sesuatu. Pengertian kerja biasanya terikat dengan penghasilan atau upaya
memperoleh hasil baik materiil atau nonmateriil. Al Qur’an menyebut kerja
dengan berbagai terminologi. Al Qur’an menyebutnya sebagai amalun,
mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut juga fi’lun, dengan
konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut juga kata shun’un, dengan
penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang
bersifat fisik. Disebut juga dengan taqdimun yang mempunyai penekanan
makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Dalam kehidupan ini, segala sesuatu kan berhasil, berkembang dan tujuan
hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang yang serius dan sungguh-sungguh, apapun
dan bagaimanapun tujuan dan falsafah hidupnya. Seorang pengusaha tidak akan
berhasil dalam perniagaanya bila ia tidak tekun dan ulet. Mereka menghabiskan
waktunya untuk kegiatan rutinitasnya. Mereka mengerahkan segala kemampuan,
kekuatan dan waktunya untuk merealisasikan bisnisnya. Contoh lain seorang ahli
politik tidak akan bisa mewujudkan tujuannya bila tidak ulet dan tekun. Bahkan
seorang pencuri dan penjahatpun untuk mendapatkan tujuannya (padahal yang
dilakukannya adalah perbuatan kriminal) harus bersusah-susah, berani dan mau
menanggung resiko dari perbuatannya itu. Memang itulah sunatullah, manusia
tidak akan berhasil tanpa kegigihan dan keuletan.
Pekerjaan yang dicintai Allah Swt adalah yang berkualitas. Al Qur’an
mempergunakan empat istilah : Amal Shalih, amal yang ihsan, amal
yang Itqan dan amal Al Birr. Al Qur’an
sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal
shalih memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al Qur’an menegaskan bahwa hidup
ini untuk ibadah sebagaimana dalam surat adz-Dzariat :56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya : “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku.”[1]
Maka kerja dengan sendirinya adalah ibadah dan ibadah hanya dapat
direalisasikan dengan kerja dalam segala
manifestasinya. Dalam hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi
sabilillah. Sabda Nabi Saw, “ Siapa yang bekerja untuk mencari nafkah
keluarganya, maka ia adalah mujahid fi sabilillah. (Ahmad) sebagaimana
dalam surat Al Hajj :77-78
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا
رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَوَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ
جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya : “Wahai orang-orang
yang beriman!Rukuklah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan
agar kamu beruntung. Dan jadikanlah jihad yang sebenar-benarnya.”[2]
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah
wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada
dasarnya bersifat individual atau fardhu ‘ain yang tidak bisa diwakilkan kepada
oranglain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggungjawaban amal yang
juga bersifat individual yang kelak akan mempertanggungjawabkan amal
masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung untuk kepentingan umum, kewajiban
menunaikannya bersifat kolektif atau sosial yang disebut dengan fardhu kifayah.
[3] Namun
posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang
wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitasnya
masing-masing dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan
(kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Sebagai seorang muslim yang ingin sukses dalam kehidupan dunianya harus
menjadikan Al Qur`an sebagai pedoman
kerja keras dalam hal kebaikan karena dalam pandangan Islam
bekerja dipandang sebagai ibadah. Berniat untuk bekerja dengan
cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap
muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam.
Tidak dibenarkan seorang muslim malas dalam mencari rezeki dengan alasan
konsentrasi ibadah atau tawakal kepada Allah, sebab bumi ini telah disiapkan
oleh Allah Swt dan ditundukkannya sehingga jinak dan mudah bagi umat manusia.
Karena itu seyogyanya ia memanfaatkan nikmat tersebut dan berusaha di seluruh
penjurunya untuk mencari sebagian karunia Allah Swt. Nabi Saw menghapuskan
pemikiran yang merendahkan sebagian orang karena profesi dan pekerjaan
tertentu. Seorang muslim boleh berusaha di ladang pertanian, berdagang,
membangun industri, kerajinan atau berbagai profesi dan pekerjaan selam tidak
yang haram, tidak dibangun di atas yang haram, membantu dan berkaitan dengan
sesuatu yang haram.
Dalam pandangan Al Qur’an orang-orang yang beriman itu adalah pekerja yang aktif dan dinamis. Hanya
saja, pekerjaan duniawi mereka tidak menyibukkannya dari kewajiban-kewajiban
agama. Pengalaman membuktikan bahwa beratnya jihad bukan hanya di medan perang
namun juga di sektor ekonomi. Al-quran
mengemukakan kepada Nabi Muhammad Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada umatmu) : “Bekerjalah
!”. Nabi Muhammad saw pernah
bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk
dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya
untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya
sendiri. Memanfaatkan waktu dengan
iman dan amal dengan nilai-nilai kemanusiaan di atas kebenaran dan kesabaran.
Sadar untuk tidak memboroskan waktu yakni dengan menyusun tujuan,
perencanaan dan evaluasi kerja, sebagaimana
dalam surat Al Insyirah di bawah ini :
Artinya : “Bukankah
kami telah melapangkan dadamu (Muhammad). Dan kamipun telah menurunkan beban
darimu. Yang memberatkan punggungmu. Dan kami tinggikan sebutan (nama)mu,
bagimu. Sungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah
selesai (dari sesatu urusan) tetap lah bekerja keras untuk (urusan yang lain).
Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap. (Al Insyirah : 1-8)[4]
Dari nash-nash dan paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam
sangat menjunjung tinggi kerja dan produktifitas. Islam tidak menyukai
pengangguran dan kemalasan, sebagaimana dalam al
Qur`an Surat Al Insyirah: 7. Dengan
pemahaman ini, setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari
seluruh pekerjaan telah selesai. Segala tugas tidak ada lagi yang tertunda.
Jika semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemudian diikuti dengan tugas lainnya.
Al Qur`an sebagai pedoman kerja kebaikan,
kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih memandang kerja adalah kodrat hidup.
Al Qur`an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (Adz-Dzariat :56), maka kerja
dengan sendirinya adalah ibadah yang direalisasikan dalam segala
manifestasinya. Maka agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah terdapat
syarat-syarat pokok yaitu :
1.
Ikhlas yakni berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan
dan dibenarkan oleh agama dengan tujuan akhir meraih mardlatillah atau
keridlaan Allah Swt. (Al Baqarah : 207 dan 265).
2.
Shawab (benar) yakni sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama
melalui Rasulullah SAW dan tidak bertentangan dengan ketentuan agama. (Al Imran
: 31, Al Hasyr : 10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah
didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih)
atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik dan yang terpenting
dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah swt.
Al Qur`an menanamkan kesadaran bahwa dengan
bekerja berarti merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah dengan menempuh
jalan menuju ridla-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup dan
memberi manfaat kepada sesama juga makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran
ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi ruang dan waktunya
hanya dengan aktivitas yang berguna dengan meningkatkan kualitas kerja yakni
sebagai berikut :
1. Ash-Shalah (baik dan bermanfaat)
Maksudnya pekerjaan yang mampu memberi nilai
tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. (Al
An’am :132).
2. Al-Itqan (kemantapan atau perfectness)
Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah
dan mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih, diperlukan dukungan pengetahuan
dan skill yang optimal. (Al Baqarah : 263)
3. Al Ihsan (melakukan yang terbaik atau lebih
baik lagi)
Ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang
dapat dilakukan dan juga mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau
kualitas pekerjaan sebelumnya, seiring dengan bertambahnya pengetahuan,
pengalaman, waktu dan sumber daya lainnya. (Fusshilat : 34).
4. Al Mujahadah (kerja keras dan optimal)
Mempunyai makna mengerahkan segenap daya dan
kemampuannya dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik agar nilai guna
dan hasil kerjanya semakin bertambah. (Al Imran : 142)
5. Tanafus dan Ta`awun (berkompetisi dan tolong
menolong)
Persaingan dalam kualitas amal sholih seperti
‘fastabiqul khairat’ (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (Al
Baqarah : 108) dengan melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian
maaf, berbuat kebajikan dan bersegara bertaubat kepada Allah. (Al Imran : 133 –
135).
6. Mencermati nilai waktu
Sikap menghargai waktu sebagai karunia Ilahi
yang wajib disyukuri dengan mengisinya melalui amal sholih sekaligus amanah
yang tidak boleh disia-siakan. (Al Hujurat : 13) [5]
Dengan kerja keras, setiap muslim akan mampu
mengukir prestasi dengan penuh kegairahan dengan secara pasti mengembalikan
harga dirinya sehingga disegani oleh umat lain. Profil seorang muslim adalah
insan yang ramah, tetapi bukan lemah, serius tetapi familiar dan tidak kaku,
perhitungan tetapi tidak pelit, penyantun tetapi pengertian, mendidik dan
mengayomi, selalu memikirkan prestasi tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Sikap
dan tingkahlakunya akan senantiasa dilandaskan pada suatu keyakinan yang
mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Hatinya selalu
terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise dan tampil
sebagai bagian dari umat yang terbaik (Khairu ummah).
Dalam bekerja, ruhul jihad mempersyaratkan
mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk
kebaikan setiap orang. Ruhul Mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas
kerja bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran
para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah yakni
pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai. Pribadi-pribadi muslim yang
jiwanya mempunyai semangat jihad yang tinggi, optimisme dan kepercayaan dirinya
seharusnya mampu mengungguli keterpurukan. Mereka mampu menjebol Kemiskinan dan
kemalasan apalagi kebodohan. Setiap ayat Al Qur’an dan nasihat Rasulullah Saw
mereka jadikan nyala api yang membakar seluruh semangatnya. Al Qur’an dan sunnah
Rasulullah Saw dia jadikan alat pendorongnya, semakin semangat ketika
Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya, Allah sangat senangjika salah seorang
diantara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukannya dengan tekun dan
sangat bersungguh-sungguh.” (H.R. Muslim)
B.
MENGHARGAI WAKTU
Waktu adalah aset Ilahiah yang sangat berharga adalah ladang yang subur
yang menumbuhkan ilmu dan amal untuk diolah serta dipetik hasilnya pada waktu
yang lain. Waktu adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi
budak kelemahan. Bila kita memanfaatkan seluruh waktu, kita sedang berada di
atas jalan keberuntungan, sebagaimana dalam surat Al Ashr.
Kita telah banyak mengorbankan waktu tanpa
membuahkan hasil, padahal kita tahu betapa berharganya waktu. Karena itu tidak
ada pendorong yang lebih kuat untuk memelihara waktu selain orang yang merasa
dan mengetahui betapa berharga dan tingginya nilai waktu. Hawa nafsu,
keengganan dan senang bersantai-santai mengibas-ibaskan angin kemalasan. Tidak
ada yang bisa menghentikan kencangnya angin ini kecuali orang yang
bersungguh-sungguh dan teliti. Bisa dibandingkan dua tipe manusia yang satu
memiliki sikap kesungguhan dan yang satunya senang bermalas-malasan serta
santai, perbedaan di antara keduanya terlihat sangat mencolok dalam
berinteraksi dan cara membagi waktu. Kita sering mendengar keluhan orang
berbicara tentang sempitnya waktu dan padatnya kegiatan yang ditanganinya.
Keluhan ini menggambarkan ketidaksungguhan dan ketidakseriusan orang itu untuk
berinteraksi dengan waktu.
Dalam Islam, ciri-ciri seorang muslim yang
diharapkan adalah pribadi yang menghargai waktu, sebagaimana dalam Surat Al
Ashr : 1-3
Artinya : “Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi,
kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholih, saling nasihat menasihati
dalam kebenaran dan kesabaran.” (Q.S. Al Ashr : 1-3)[6]
Ajaran Islam menganggap pemahaman dalam
menghargai waktu sebagai salah satu faktor keimanan dan bukti ketaqwaan
sebagaimana yang tersirat dalam surat Al Furqan ayat 62 yang artinya: “Dan
Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin
mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
Keuntungan dan kerugian manusia banyak ditentukan oleh
sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap menghargai waktu sebagai
karunia Ilahi yang wajib disyukuri.
Di samping itu Allah Swt menggunakan waktu untuk
menegaskan pentingnya waktu dan keagungan nilainya, seperti yang tersirat dalam
surat Al Lail :1-2, Adh Dhuha : 1-2, Al `Ashr : 1-2. Mengelola waktu berarti
menata diri dan merupakan salah satu keunggulan dan kesuksesan. Maka, jika
seorang muslim mampu mengelola waktu dengan baik, maka akan memperoleh
optimalisasi dalam kehidupannya. Namun, apabila tidak mampu, maka seseorang
tidak akan mampu mengelola sesuatu apapun karena waktu merupakan modal dasar
bagi kehidupan muslim yang bertaqwa.
Allah Swt mewajibkan pada kita agar senantiasa
melakukan sesuatu secara profesional dan berkualitas. Dalam hadits disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah mewajibkan
berlaku ‘ihsan’ (bekerja secara berkualitas ) atas segala sesuatu. (HR.
Muslim). Untuk mendukung profesionalitas, Islam mengutamakan orang yang kuat dan
sehat dalam menjalani sebuah pekerjaan. Islam menghargai janji dan waktu yang
merupakan pilar profesionalisme, sebagaimana RasuIulullah Saw. Pemenuhan atas
janji merupakan cermin dari kualitas ibadah sosial yang berdampak positif pada
kualitas dan produktifitas kerja.
Dengan keinginan yang kuat dapat terbiasa
dalam pemanfaatan waktu, sehingga dapat terampil mengelolanya yang berarti
dapat menata diri sebagai tanda keunggulan dan kesuksesan dan akan memperoleh
optimalisasi dalam kehidupannya. Rasulullah SAW mengajarkan agar setiap muslim
menghargai waktu, utamanya waktu sekarang karena waktu yang selalu tersedia
bagi kesempatan itu adalah ‘sekarang’. Sekarang adalah kesempatan yang terbaik.
Sedangkan kebiasaan mengulur waktu dan menunda kerja dilarang Rasulullah Saw,
jika diteruskan akan membuat umat Islam tertinggal dan lemah. Dan alangkah
meruginya manusia yang tidak pandai mempergunakan waktu sebaik-baiknya.
Rasulullah sendiri mengingatkan kita untuk
selalu memperbaiki waktu, sebab setiap waktu memiliki beban persoalan
tersendiri, Sabdanya :”Carilah yang lima sebelum datang yang lima yaitu :
1.
Manfaatkan masa mudamu sebelum datang masa tuamu (dengan
ibadah)
2.
Pergunakan kayamu sebelum datang miskinmu (dengan sedekah)
3.
Pergunakan sehatmu sebelum datang sakitmu (dengan amal
sholih)
4.
Pergunakan senggangmu sebelum datang masa sempitmu
5.
Pergunakan hidupmu sebelum datang ajalmu (mencari bekal
untuk hidup sesudah mati)”
Dari uraian di atas nampak tiga kelompok orang yang
menggunakan waktu, yaitu :
1. Orang sukses yaitu orang yang menggunakan waktu dengan
optimal dan ia melakukan sesuatu yang tidak diminati oleh orang yang gagal.
2. Orang malang yaitu orang yang hari-harinya diisi dengan
kekecewaan dan selalu memulai sesuatu pada keesokan harinya.
Pentingnya waktu (masa) yang membatasi manusia dalam
menjalankan kehidupannya hanya akan memberikan manfaat dan keberuntungan jika
manusia itu tidak bersikap apatis, acuh tak acuh dan hanya diam menunggu untuk
mendapatkan rahmat, karunia dan ridla-Nya. Dengan kata lain keselamatan,
kebahagiaan, kesejahteraan dan ridla Allah itu harus dicari secara proaktif dan
kreatifitas tinggi, tentunya yang berkaitan dengan akhirat secara langsung. Dan
selain itu harus didorong juga oleh motivasi kerja yang tinggi apalagi di masa muda yang penuh enerjik.
Firman Allah Swt dan hadits Rasulullah Saw
mengharuskan untuk terus mengeksplorasi, mencari dan terus mencari ilmu
pengetahuan dan tehnologi demi untuk kelangsungan hidup dunia dan akhirat.
Manusia sebagai khalifah di bumi harus melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu
yang bermanfaat. Demikian pula sewaktu
kita diberi kesehatan, waktu senggang, kekayaan bahkan kehidupan yang
terbaik ditekankan dalam jiwa umat Islam untuk selalu yakin dalam berusaha
memenuhi kebutuhan dunia dengan tetap berlaku sabar dan tawakal penuh
pengharapan dalam meraih ridla Allah yang bermuara dalam kehidupan akhirat.
Setiap pribadi muslim yang sadar akan makna
hidup meyakini apa yang diraih pada waktu yang akan datang ditentukan oleh
caranya meraih pada hari ini, what we are going tomorrow we are becoming
today. Siapa yang menanam dialah yang memetik, siapa yang menabur benih
dialah yang menuai. Waktu adalah ladang kehidupan, kewajiban kita adalah
menebar benih di atas ladang sang waktu untuk kemudian menikmatinya di masa
depan. Bila anda menanam kemalasan, bersiaplah untuk memetik buah kemiskinan.
Bila anda menanam kerja keras, sepantasnyalah anda sendiri menuai keberhasilan,
inilah hukum wal-‘ashri.
C. SABAR
Sabar menurut bahasa berarti menahan dan
mengekang, seperti yang disebutkan dalam QS.Al Kahfi : 28 yang artinya : “Dan tahanlah dirimu bersama
dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridlaanNya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan dari
sabar adalah jaza`u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana firman Allah QS.
Ibrahim : 21 Artinya :“......sama
saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai
tempat untuk melarikan diri.”
Sabar dalam firman Allah swt Surat Ali Imran,3
: 146
Artinya : “Dan betapa banyak nabi yang
berperang didampingi sejumlah besar pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak
(menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya, di jalan Allah, tidak patah
semangat dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai
orang-orang yang sabar.(Al Imran,3 : 146) [8]
Sabar di dalam Al Qur`an mempunyai mempunyai 2 arti :
1. Bersifat fisik (badani)
2. Bersifat non fisik (kesabaran moral), dalam
berbagai macam, seperti:
-
Iffah yakni sabar yang berbentuk menahan dari syahwat
perut dan kemaluan.
-
Sabar dalam menghadapi musibah, kebalikannya adalah keluh
kesah (jaza’).
-
Mengendalikan nafsu yakni sabar di dalam kondisi serba
kecukupan, kebalikannya adalah sombong.
-
Berani yakni sabar di dalam perang atau pertempuran,
kebalikannya adalah
pengecut/takut.
-
Lemah lembut dan bijaksana yakni sabar dalam mengekang
kemarahan, kebalikannya adalah menggerutu/emosional
-
Penyimpan rahasia yakni sabar dalam menyimpan perkataan.
-
Qana’ah atau rela dan puas, kebalikannya adalah rakus.
-
Zuhud yakni sabar
dari kelebihan, kebalikannya adalah serakah.
-
Lapang dada dalam menghadapi keadaan yang sulit dan
menjemukan, kebalikannya adalah sempit dada, bosan dan jemu.
Ketika Rasulullah Saw ditanya ciri-ciri iman,
beliau menjawab : “Ialah Sabar”. Karena di samping sabar merupakan amal yang
termulia, sebagian besar amalan iman adalah sabar. Demikian juga Allah Swt
telah merangkum keseluruhan amalan iman diberi nama sabar yakni dalam surat Al
Baqarah : 177
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Artinya : “Dan orang-orang yang sabar dalam
musibah, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar
keimanannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Surat Al Baqarah
: 177) [9]
Dari sini kita memahami betapa Al Qur’an
menjadikan sabar sebagai kriteria apakah seseorang layak untuk memasuki syurga
dan mendapat sambutan kehormatan dari malaikat-malaikat. Menjelaskan tentang
hamba-hamba Allah yang berbakti, hamba-hamba Ar Rahman dan hamba-hamba yang
baik dan berakal (Al Furqan : 75).
Seseorang
yang taat dan patuh membutuhkan sabar dalam 3 hal :
1. Sabar sebelum ketaatan yaitu dengan ikhlasun
niyyat (meluruskan niat), dalam melawan bayang-bayang riya’. Membulatkan tekad
untuk jujur dan menepati janji. Rasulullah telah memperingatkan kita: “(Nilai)
segala amal perbuatan adalah dengan niat dan bagi tiap orang (pahala dan
dosanya) tergantung atas niatnya.”
2. Sabar pada saat bekerja (operasional) agar
tidak melalaikan Allah dan tidak malas untuk menepati pelaksanaan peraturan dan
hukum Allah dan memenuhi syarat-syarat peraturan hingga tuntas seluruh
pekerjaannya. Selalu sabar dalam melawan kelemahan, kekesalan dan kejenuhan.
Maksudnya bersabar hingga langkah pekerjaan yang terakhir.
3. Setelah selesai pekerjaan dibutuhkan kesabaran
dengan tidak merasa bangga dan menepuk
dada karena riya dan mencari popularitas, sehingga menyebabkan hilangnya
keikhlasan. [10]
Manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses pengembangan, juga
makhluk yang berakal, mukallaf/dibebani dan diberi cobaan, maka sabar adalah
kekuatan yang diperlukan untuk melawan kekuatan yang lainnya antara baik dan
buruk. Yang baik adalah dorongan keagamaan dan yang buruk adalah dorongan
syahwat. Agama tidak akan tegak dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan
sabar. Dengan sabar, orang akan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kesabaran adalah sebagian dari iman, jika
bersabar atas apa yang belum kita kehendaki pasti akan berbuah pahala dan
hikmah yang tak ternilai.
KESIMPULAN
Kerja keras yang tinggi hendaknya dilandasi dengan moralitas seperti sifat
amanah, tanggungjawab, menepati janji, hidup hemat, memperhatikan tiga
dimensi waktu yaitu masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, penuh
kesabaran dan tawakal kepada Allah. Kerja apapun menurut pemahaman Qur`ani
tidak dapat menjadi Islami bila tidak dilandasi konsep iman dan amal sholih,
sebab sekalipun kerja itu bermanfaat dan bersifat keduniaan bagi banyak orang,
tanpa dasar iman tidak akan membuahkan pahala di akhirat kelak.
Amal sholih sebenarnya adalah syariat dalam arti luas, ilmu sebagai
jembatannya dan merupakan kewajiban yang bersifat keagamaan. Tauhid mukmin dan
amal sholih syaratnya ikhlas lillaahita`ala. Setiap kerja hendaknya dilandasi
ilmu. Allah memerintahkan agar umat Islam giat bekerja. Seberapa besar motivasi beribadah dan
tujuan-tujuan yang bersifat ukhrawi serta tuntunan halal-haram dalam perspektif
Islam memandang amat tinggi terhadap usaha dan kerja yang halal dalam rangka
memperoleh rezeki atau harta yang digunakan untuk amal kebaikan.
Kerja merupakan kodrat hidup manusia
sekaligus cara memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kerja juga
menjadi jalan utama mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedudukannya tinggi yakni
menempati peringkat kedua setelah iman. Kerja juga dapat menghapus dosa. Jadi
setiap kerja yang mendapat ridla Allah, mestinya diposisikan sebagai ibadah dan
menjadi bagian dari sikap hidup muslim atau muslimah. Islam tidak hanya
menganjurkan manusia untuk bekerja dan menghasilkan. Bekerja dan meningkatkan
penghasilan adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang mempunyai nilai tambah
diantara beberapa jenis ibadah.
Berjuang dalam bekerja menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja
bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang didukung dengan ketekunan untuk
pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai. Bekerja menuntut kecermatan
dalam manajemen waktu, keprofesionalan dalam mengelola sumber daya. Dengan
tegas ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah ,malas dan kurang serius,
mengandalkan pada kemampuan oranglain untuk menyelesaikan pekerjaan.
[2] Ibid, hal.341.
[3] Yusuf Qardhawi, Halal haram dalam Islam
( cet III, Era Intermedia, Solo, 2003) hlm 189.
[4] Al Qur’an Terjemah Per-kata Departemen Agama RI
( Sygma, Syaamil Al Qur’an, Bandung) hlm. 596.
[5] Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami,
Muhamadiyah University Press ( Surakarta, Cet.I, 2004) hlm. 178.
[7] Abdullah Gymnastiar, Demi Masa (Menggenggam
Waktu, Meraih Keunggulan Diri) (Cet V, Khas MQ, Bandung, 2006) hlm. 26.
[8] M.Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah (Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al Qur’an)( cetakan I, Lentera Hati, Jakarta, 2000)
hlm. 223.
[9] Al
Qur’an dan Terjemahnya Al Jumatul Ali (Seuntai mutiara yang Maha Luhur), Departemen Agama RI, (J-Art Anggota
IKAPI, 2003) hlm. 27.
[10] Yusuf Qordhowi, Al Qur’an Menyuruh Kita
Sabar, Cet.1, Gema Insani Press, Jakarta, 1989, hlm.45.
sip.... lanjutkan
BalasHapusnanti kalau makalah sudah banyak, coba yang ditampilkan satu alenia saja terus pakai pagemore...
Seorang pribadi muslim yang mendapatkan amanah untuk menghidupkan iman dalam bentuk amal shaleh, tidak mungkin membuang waktu tanpa manfaat.
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia