animasi kursor

SELAMAT DATANG DI BERANDA KAMI


Kehidupan, kadang membuat kita tersenyum bahagia, namun tidak jarang membuat kita bermuram durja. Janganlah gundah karena semua itu hanyalah sebuah perjalanan menuju kehidupan abadi. Mari kita berbagi inspirasi, untuk menggapai kehidupan abadi yang bahagia, selamanya.

Selasa, 02 April 2013

Sabar,Kerja keras dan Menghargai Waktu



SABAR, KERJA KERAS DAN MENGHARGAI WAKTU
DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
Oleh : Nurhaj Syarifah,S.Ag.

PENDAHULUAN
Sudah menjadi Sunatullah, dalam kehidupan ini semua manusia tidak akan hidup dan tidak akan meraih kesuksesan bila tidak beramal, bahkan rezekipun tidak akan diperoleh bila kita tidak beramal. Dalam sejarah manusiapun yang dicatat adalah kaum terdahulu dan kaum yang akan datang berdiri di atas landasan amal bukan manusia yang hanya mengeluarkan slogan-slogan kosong yang tidak bermakna. Amal atau karya merupakan tuntutan semua aspek kehidupan sekaligus menjadi tolok ukur sebuah keberhasilan. Pada saat sedang mentadabburi ayat-ayat Al Qur’an kita akan menemukan ayat-ayat yang menegaskan amat urgennya masalah amal yang menjadikannya sebagai tuntutan dasar yakni : Keimanan harus disertai dengan amal. Amal juga harus disertai dengan ilmu. Ilmu dan amal harus dengan keimanan. Sedangkan selain iman, amal dan ilmu harus diperlukan kesabaran.  Iman dan ilmu adalah dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf peradaban, iman adalah suatu reaksi pada suatu gerak batin menuju apa yang diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim sedangkan ilmu merupakan tumpukan pengetahuan yang menentukan arti hidup manusia. Kedua-duanya dapat menemukan lapangan umum untuk bekerja tanpa ada pertentangan antara keduanya.

 
Seorang pribadi muslim yang mendapatkan amanah untuk menghidupkan iman dalam bentuk amal shaleh, tidak mungkin membuang waktu tanpa manfaat. Akan tetapi, jika membuang-buang waktu, mereka tidak pernah mencapai puncak dengan cemerlang. Para pekerja yang bermalas-malasan membuang waktu pada hakikatnya berjiwa kerdil, pengecut, tidak memiliki tanggungjawab dan kehilangan orientasi untuk menatap masa depannya. Al Qur`an memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh ashr (waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang dimilikinya. Hendaknya waktu digunakan untuk beribadah, ibadah dalam hal ini menitikberatkan pada kerja yang bisa membuahkan hasil dan bermanfaat yakni bekerja disertai dengan keberhasilan yang sesuai dengan kapasitasnya. Kerja atau amal dalam bahasa Al Qur`an tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi bekerja secara sungguh-sungguh, sepenuh hati. Surat Al Ashr dan surat Al Insyirah memberi petunjuk untuk umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain dengan menjadikan harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah Swt.
Al Qur`an tidak memberikan peluang untuk menganggur sepanjang masih ada masa yakni memenuhi waktu dengan kerja keras.  Surat Al Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman saja melainkan juga amal shalihnya. Bahkan amal shalih dengan imanpun belum cukup karena masih membutuhkan ilmu. Demikian amal shalih dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman. Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang merasa jenuh. Karena itu, perlu selalu menerima nasihat agar tabah dan sabar (saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran) sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal dan pengetahuannya.
Kaum muslimin mempunyai semangat kerja yang demikian kuat dan mendasar karena bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah dan merupakan persoalan hidup dan mati, akan tetapi kaum muslimin belum tahu bila mereka mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat. Dengan berusaha keras, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan dan secara pasti akan mengembalikan harga dirinya sehingga disegani oleh umat lain. Tentunya dengan manajemen waktu yang baik dan ditempuh dengan penuh kesabaran. Islam sangat menjunjung tinggi kerja keras dan produktivitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan, karena kedua sifat itu merupakan kriteria orang yang tidak sungguh-sungguh dan serius. Waktu merupakan rasa tanggungjawab yang sangat besar untuk kemuliaan hidupnya sebagai wadah produktivitas.
PEMBAHASAN
A.                KERJA KERAS
Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kegiatan melakukan sesuatu. Pengertian kerja biasanya terikat dengan penghasilan atau upaya memperoleh hasil baik materiil atau nonmateriil. Al Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al Qur’an menyebutnya sebagai amalun, mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut juga fi’lun, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut juga kata shun’un, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan taqdimun yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Dalam kehidupan ini, segala sesuatu kan berhasil, berkembang dan tujuan hanya bisa diwujudkan oleh orang-orang yang serius dan sungguh-sungguh, apapun dan bagaimanapun tujuan dan falsafah hidupnya. Seorang pengusaha tidak akan berhasil dalam perniagaanya bila ia tidak tekun dan ulet. Mereka menghabiskan waktunya untuk kegiatan rutinitasnya. Mereka mengerahkan segala kemampuan, kekuatan dan waktunya untuk merealisasikan bisnisnya. Contoh lain seorang ahli politik tidak akan bisa mewujudkan tujuannya bila tidak ulet dan tekun. Bahkan seorang pencuri dan penjahatpun untuk mendapatkan tujuannya (padahal yang dilakukannya adalah perbuatan kriminal) harus bersusah-susah, berani dan mau menanggung resiko dari perbuatannya itu. Memang itulah sunatullah, manusia tidak akan berhasil tanpa kegigihan dan keuletan.
Pekerjaan yang dicintai Allah Swt adalah yang berkualitas. Al Qur’an mempergunakan empat istilah : Amal Shalih, amal yang ihsan, amal yang Itqan dan amal Al Birr. Al Qur’an  sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah sebagaimana dalam surat adz-Dzariat :56
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku.”[1]
Maka kerja dengan sendirinya adalah ibadah dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja  dalam segala manifestasinya. Dalam hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi sabilillah. Sabda Nabi Saw, “ Siapa yang bekerja untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi sabilillah. (Ahmad) sebagaimana dalam surat Al Hajj :77-78
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَوَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman!Rukuklah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung. Dan jadikanlah jihad yang sebenar-benarnya.”[2]
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual atau fardhu ‘ain yang tidak bisa diwakilkan kepada oranglain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggungjawaban amal yang juga bersifat individual yang kelak akan mempertanggungjawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung untuk kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial yang disebut dengan fardhu kifayah. [3] Namun posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitasnya masing-masing dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Sebagai seorang muslim yang ingin sukses dalam kehidupan dunianya harus menjadikan  Al Qur`an sebagai pedoman kerja keras dalam hal kebaikan karena dalam pandangan Islam bekerja dipandang sebagai ibadah. Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam.
Tidak dibenarkan seorang muslim malas dalam mencari rezeki dengan alasan konsentrasi ibadah atau tawakal kepada Allah, sebab bumi ini telah disiapkan oleh Allah Swt dan ditundukkannya sehingga jinak dan mudah bagi umat manusia. Karena itu seyogyanya ia memanfaatkan nikmat tersebut dan berusaha di seluruh penjurunya untuk mencari sebagian karunia Allah Swt. Nabi Saw menghapuskan pemikiran yang merendahkan sebagian orang karena profesi dan pekerjaan tertentu. Seorang muslim boleh berusaha di ladang pertanian, berdagang, membangun industri, kerajinan atau berbagai profesi dan pekerjaan selam tidak yang haram, tidak dibangun di atas yang haram, membantu dan berkaitan dengan sesuatu yang haram.
Dalam pandangan Al Qur’an orang-orang yang beriman itu  adalah pekerja yang aktif dan dinamis. Hanya saja, pekerjaan duniawi mereka tidak menyibukkannya dari kewajiban-kewajiban agama. Pengalaman membuktikan bahwa beratnya jihad bukan hanya di medan perang namun juga di sektor ekonomi. Al-quran mengemukakan kepada Nabi Muhammad Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada umatmu) : “Bekerjalah !”. Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri. Memanfaatkan waktu dengan iman dan amal dengan nilai-nilai kemanusiaan di atas kebenaran dan kesabaran. Sadar untuk tidak memboroskan waktu yakni dengan menyusun tujuan, perencanaan  dan evaluasi kerja, sebagaimana dalam surat Al Insyirah  di bawah ini :
Artinya : “Bukankah kami telah melapangkan dadamu (Muhammad). Dan kamipun telah menurunkan beban darimu. Yang memberatkan punggungmu. Dan kami tinggikan sebutan (nama)mu, bagimu. Sungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesatu urusan) tetap lah bekerja keras untuk (urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap. (Al Insyirah : 1-8)[4]
Dari nash-nash dan paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kerja dan produktifitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan, sebagaimana dalam al Qur`an Surat Al Insyirah: 7.  Dengan pemahaman ini, setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari seluruh pekerjaan telah selesai. Segala tugas tidak ada lagi yang tertunda. Jika semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemudian diikuti dengan tugas lainnya.  
Al Qur`an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih memandang kerja adalah kodrat hidup. Al Qur`an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (Adz-Dzariat :56), maka kerja dengan sendirinya adalah ibadah yang direalisasikan dalam segala manifestasinya. Maka agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah terdapat syarat-syarat pokok yaitu :
1.             Ikhlas yakni berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama dengan tujuan akhir meraih mardlatillah atau keridlaan Allah Swt. (Al Baqarah : 207 dan 265).
2.             Shawab (benar) yakni sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah SAW dan tidak bertentangan dengan ketentuan agama. (Al Imran : 31, Al Hasyr : 10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik dan yang terpenting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah swt.
Al Qur`an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah dengan menempuh jalan menuju ridla-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup dan memberi manfaat kepada sesama juga makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna dengan meningkatkan kualitas kerja yakni sebagai berikut :
1.      Ash-Shalah (baik dan bermanfaat)
Maksudnya pekerjaan yang mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. (Al An’am :132).
2.      Al-Itqan (kemantapan atau perfectness)
Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah dan mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. (Al Baqarah : 263)
3.      Al Ihsan (melakukan yang terbaik atau lebih baik lagi)
Ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan dan juga mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu dan sumber daya lainnya. (Fusshilat : 34).
4.      Al Mujahadah (kerja keras dan optimal)
Mempunyai makna mengerahkan segenap daya dan kemampuannya dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik agar nilai guna dan hasil kerjanya semakin bertambah. (Al Imran : 142)
5.      Tanafus dan Ta`awun (berkompetisi dan tolong menolong)
Persaingan dalam kualitas amal sholih seperti ‘fastabiqul khairat’ (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (Al Baqarah : 108) dengan melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan dan bersegara bertaubat kepada Allah. (Al Imran : 133 – 135).
6.      Mencermati nilai waktu
Sikap menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri dengan mengisinya melalui amal sholih sekaligus amanah yang tidak boleh disia-siakan. (Al Hujurat : 13) [5]
Dengan kerja keras, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan dengan secara pasti mengembalikan harga dirinya sehingga disegani oleh umat lain. Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah, serius tetapi familiar dan tidak kaku, perhitungan tetapi tidak pelit, penyantun tetapi pengertian, mendidik dan mengayomi, selalu memikirkan prestasi tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Sikap dan tingkahlakunya akan senantiasa dilandaskan pada suatu keyakinan yang mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Hatinya selalu terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik (Khairu ummah).
Dalam bekerja, ruhul jihad mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul Mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai. Pribadi-pribadi muslim yang jiwanya mempunyai semangat jihad yang tinggi, optimisme dan kepercayaan dirinya seharusnya mampu mengungguli keterpurukan. Mereka mampu menjebol Kemiskinan dan kemalasan apalagi kebodohan. Setiap ayat Al Qur’an dan nasihat Rasulullah Saw mereka jadikan nyala api yang membakar seluruh semangatnya. Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw dia jadikan alat pendorongnya, semakin semangat ketika Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya, Allah sangat senangjika salah seorang diantara kamu mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dilakukannya dengan tekun dan sangat bersungguh-sungguh.” (H.R. Muslim)
B.                 MENGHARGAI WAKTU
Waktu adalah aset Ilahiah yang sangat berharga adalah ladang yang subur yang menumbuhkan ilmu dan amal untuk diolah serta dipetik hasilnya pada waktu yang lain. Waktu adalah kekuatan. Mereka yang mengabaikan waktu berarti menjadi budak kelemahan. Bila kita memanfaatkan seluruh waktu, kita sedang berada di atas jalan keberuntungan, sebagaimana dalam surat Al Ashr.
Kita telah banyak mengorbankan waktu tanpa membuahkan hasil, padahal kita tahu betapa berharganya waktu. Karena itu tidak ada pendorong yang lebih kuat untuk memelihara waktu selain orang yang merasa dan mengetahui betapa berharga dan tingginya nilai waktu. Hawa nafsu, keengganan dan senang bersantai-santai mengibas-ibaskan angin kemalasan. Tidak ada yang bisa menghentikan kencangnya angin ini kecuali orang yang bersungguh-sungguh dan teliti. Bisa dibandingkan dua tipe manusia yang satu memiliki sikap kesungguhan dan yang satunya senang bermalas-malasan serta santai, perbedaan di antara keduanya terlihat sangat mencolok dalam berinteraksi dan cara membagi waktu. Kita sering mendengar keluhan orang berbicara tentang sempitnya waktu dan padatnya kegiatan yang ditanganinya. Keluhan ini menggambarkan ketidaksungguhan dan ketidakseriusan orang itu untuk berinteraksi dengan waktu.
Dalam Islam, ciri-ciri seorang muslim yang diharapkan adalah pribadi yang menghargai waktu, sebagaimana dalam Surat Al Ashr : 1-3
Artinya : “Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman, beramal sholih, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Q.S. Al Ashr : 1-3)[6]

Ajaran Islam menganggap pemahaman dalam menghargai waktu sebagai salah satu faktor keimanan dan bukti ketaqwaan sebagaimana yang tersirat dalam surat Al Furqan ayat 62 yang artinya: “Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
Keuntungan dan kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri.
Di samping itu Allah Swt menggunakan waktu untuk menegaskan pentingnya waktu dan keagungan nilainya, seperti yang tersirat dalam surat Al Lail :1-2, Adh Dhuha : 1-2, Al `Ashr : 1-2. Mengelola waktu berarti menata diri dan merupakan salah satu keunggulan dan kesuksesan. Maka, jika seorang muslim mampu mengelola waktu dengan baik, maka akan memperoleh optimalisasi dalam kehidupannya. Namun, apabila tidak mampu, maka seseorang tidak akan mampu mengelola sesuatu apapun karena waktu merupakan modal dasar bagi kehidupan muslim yang bertaqwa.
Allah Swt mewajibkan pada kita agar senantiasa melakukan sesuatu secara profesional dan berkualitas. Dalam hadits disebutkan  bahwa “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ‘ihsan’ (bekerja secara berkualitas ) atas segala sesuatu. (HR. Muslim). Untuk mendukung profesionalitas, Islam mengutamakan orang yang kuat dan sehat dalam menjalani sebuah pekerjaan. Islam menghargai janji dan waktu yang merupakan pilar profesionalisme, sebagaimana RasuIulullah Saw. Pemenuhan atas janji merupakan cermin dari kualitas ibadah sosial yang berdampak positif pada kualitas dan produktifitas kerja.
Dengan keinginan yang kuat dapat terbiasa dalam pemanfaatan waktu, sehingga dapat terampil mengelolanya yang berarti dapat menata diri sebagai tanda keunggulan dan kesuksesan dan akan memperoleh optimalisasi dalam kehidupannya. Rasulullah SAW mengajarkan agar setiap muslim menghargai waktu, utamanya waktu sekarang karena waktu yang selalu tersedia bagi kesempatan itu adalah ‘sekarang’. Sekarang adalah kesempatan yang terbaik. Sedangkan kebiasaan mengulur waktu dan menunda kerja dilarang Rasulullah Saw, jika diteruskan akan membuat umat Islam tertinggal dan lemah. Dan alangkah meruginya manusia yang tidak pandai mempergunakan waktu sebaik-baiknya.
Rasulullah sendiri mengingatkan kita untuk selalu memperbaiki waktu, sebab setiap waktu memiliki beban persoalan tersendiri, Sabdanya :”Carilah yang lima sebelum datang yang lima yaitu :
1.                  Manfaatkan masa mudamu sebelum datang masa tuamu (dengan ibadah)
2.                  Pergunakan kayamu sebelum datang  miskinmu (dengan sedekah)
3.                  Pergunakan sehatmu sebelum datang sakitmu (dengan amal sholih)
4.                  Pergunakan senggangmu sebelum datang masa sempitmu
5.                  Pergunakan hidupmu sebelum datang ajalmu (mencari bekal untuk hidup sesudah mati)”
Dari uraian di atas nampak tiga kelompok orang yang menggunakan waktu, yaitu :
1.      Orang sukses yaitu orang yang menggunakan waktu dengan optimal dan ia melakukan sesuatu yang tidak diminati oleh orang yang gagal.
2.      Orang malang yaitu orang yang hari-harinya diisi dengan kekecewaan dan selalu memulai sesuatu pada keesokan harinya.
3.      Orang hebat yaitu orang yang bersedia melakukan sesuatu sekarang juga.[7]
Pentingnya waktu (masa) yang membatasi manusia dalam menjalankan kehidupannya hanya akan memberikan manfaat dan keberuntungan jika manusia itu tidak bersikap apatis, acuh tak acuh dan hanya diam menunggu untuk mendapatkan rahmat, karunia dan ridla-Nya. Dengan kata lain keselamatan, kebahagiaan, kesejahteraan dan ridla Allah itu harus dicari secara proaktif dan kreatifitas tinggi, tentunya yang berkaitan dengan akhirat secara langsung. Dan selain itu harus didorong juga oleh motivasi kerja yang tinggi  apalagi di masa muda yang penuh enerjik.
Firman Allah Swt dan hadits Rasulullah Saw mengharuskan untuk terus mengeksplorasi, mencari dan terus mencari ilmu pengetahuan dan tehnologi demi untuk kelangsungan hidup dunia dan akhirat. Manusia sebagai khalifah di bumi harus melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu yang bermanfaat. Demikian pula sewaktu  kita diberi kesehatan, waktu senggang, kekayaan bahkan kehidupan yang terbaik ditekankan dalam jiwa umat Islam untuk selalu yakin dalam berusaha memenuhi kebutuhan dunia dengan tetap berlaku sabar dan tawakal penuh pengharapan dalam meraih ridla Allah yang bermuara dalam kehidupan akhirat.
Setiap pribadi muslim yang sadar akan makna hidup meyakini apa yang diraih pada waktu yang akan datang ditentukan oleh caranya meraih pada hari ini, what we are going tomorrow we are becoming today. Siapa yang menanam dialah yang memetik, siapa yang menabur benih dialah yang menuai. Waktu adalah ladang kehidupan, kewajiban kita adalah menebar benih di atas ladang sang waktu untuk kemudian menikmatinya di masa depan. Bila anda menanam kemalasan, bersiaplah untuk memetik buah kemiskinan. Bila anda menanam kerja keras, sepantasnyalah anda sendiri menuai keberhasilan, inilah hukum wal-‘ashri.
C.  SABAR
Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang, seperti yang disebutkan dalam QS.Al Kahfi : 28  yang artinya : “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaanNya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan  dari sabar adalah jaza`u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana firman Allah QS. Ibrahim : 21  Artinya :“......sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”
Sabar dalam firman Allah swt Surat Ali Imran,3 : 146
Artinya : “Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya, di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.(Al Imran,3 : 146) [8]

Sabar di dalam Al Qur`an mempunyai mempunyai 2 arti :
1.      Bersifat fisik (badani)
2.      Bersifat non fisik (kesabaran moral), dalam berbagai macam, seperti:
-                 Iffah yakni sabar yang berbentuk menahan dari syahwat perut dan kemaluan.
-                 Sabar dalam menghadapi musibah, kebalikannya adalah keluh kesah (jaza’).
-                 Mengendalikan nafsu yakni sabar di dalam kondisi serba kecukupan, kebalikannya adalah sombong.
-                 Berani yakni sabar di dalam perang atau pertempuran, kebalikannya adalah pengecut/takut.
-                 Lemah lembut dan bijaksana yakni sabar dalam mengekang kemarahan, kebalikannya adalah menggerutu/emosional
-                 Penyimpan rahasia yakni sabar dalam menyimpan perkataan.
-                 Qana’ah atau rela dan puas, kebalikannya adalah rakus.
-                 Zuhud  yakni sabar dari kelebihan, kebalikannya adalah serakah.
-                 Lapang dada dalam menghadapi keadaan yang sulit dan menjemukan, kebalikannya adalah sempit dada, bosan dan jemu.
Ketika Rasulullah Saw ditanya ciri-ciri iman, beliau menjawab : “Ialah Sabar”. Karena di samping sabar merupakan amal yang termulia, sebagian besar amalan iman adalah sabar. Demikian juga Allah Swt telah merangkum keseluruhan amalan iman diberi nama sabar yakni dalam surat Al Baqarah : 177
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Artinya : “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar keimanannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (Surat Al Baqarah : 177) [9]

Dari sini kita memahami betapa Al Qur’an menjadikan sabar sebagai kriteria apakah seseorang layak untuk memasuki syurga dan mendapat sambutan kehormatan dari malaikat-malaikat. Menjelaskan tentang hamba-hamba Allah yang berbakti, hamba-hamba Ar Rahman dan hamba-hamba yang baik dan berakal (Al Furqan : 75).
            Seseorang yang taat dan patuh membutuhkan sabar dalam 3 hal :
1.    Sabar sebelum ketaatan yaitu dengan ikhlasun niyyat (meluruskan niat), dalam melawan bayang-bayang riya’. Membulatkan tekad untuk jujur dan menepati janji. Rasulullah telah memperingatkan kita: “(Nilai) segala amal perbuatan adalah dengan niat dan bagi tiap orang (pahala dan dosanya) tergantung atas niatnya.”
2.    Sabar pada saat bekerja (operasional) agar tidak melalaikan Allah dan tidak malas untuk menepati pelaksanaan peraturan dan hukum Allah dan memenuhi syarat-syarat peraturan hingga tuntas seluruh pekerjaannya. Selalu sabar dalam melawan kelemahan, kekesalan dan kejenuhan. Maksudnya bersabar hingga langkah pekerjaan yang terakhir.
3.    Setelah selesai pekerjaan dibutuhkan kesabaran dengan tidak merasa bangga  dan menepuk dada karena riya dan mencari popularitas, sehingga menyebabkan hilangnya keikhlasan. [10]
Manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses pengembangan, juga makhluk yang berakal, mukallaf/dibebani dan diberi cobaan, maka sabar adalah kekuatan yang diperlukan untuk melawan kekuatan yang lainnya antara baik dan buruk. Yang baik adalah dorongan keagamaan dan yang buruk adalah dorongan syahwat. Agama tidak akan tegak dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Dengan sabar, orang akan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.   Kesabaran adalah sebagian dari iman, jika bersabar atas apa yang belum kita kehendaki pasti akan berbuah pahala dan hikmah yang  tak ternilai.

KESIMPULAN
Kerja keras yang tinggi hendaknya dilandasi dengan moralitas seperti sifat amanah, tanggungjawab, menepati janji, hidup hemat, memperhatikan tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang, penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Kerja apapun menurut pemahaman Qur`ani tidak dapat menjadi Islami bila tidak dilandasi konsep iman dan amal sholih, sebab sekalipun kerja itu bermanfaat dan bersifat keduniaan bagi banyak orang, tanpa dasar iman tidak akan membuahkan pahala di akhirat kelak.
Amal sholih sebenarnya adalah syariat dalam arti luas, ilmu sebagai jembatannya dan merupakan kewajiban yang bersifat keagamaan. Tauhid mukmin dan amal sholih syaratnya ikhlas lillaahita`ala. Setiap kerja hendaknya dilandasi ilmu. Allah memerintahkan agar umat Islam giat bekerja.  Seberapa besar motivasi beribadah dan tujuan-tujuan yang bersifat ukhrawi serta tuntunan halal-haram dalam perspektif Islam memandang amat tinggi terhadap usaha dan kerja yang halal dalam rangka memperoleh rezeki atau harta yang digunakan untuk amal kebaikan.
Kerja merupakan  kodrat hidup manusia sekaligus cara memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kerja juga menjadi jalan utama mendekatkan diri kepada Tuhan. Kedudukannya tinggi yakni menempati peringkat kedua setelah iman. Kerja juga dapat menghapus dosa. Jadi setiap kerja yang mendapat ridla Allah, mestinya diposisikan sebagai ibadah dan menjadi bagian dari sikap hidup muslim atau muslimah. Islam tidak hanya menganjurkan manusia untuk bekerja dan menghasilkan. Bekerja dan meningkatkan penghasilan adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang mempunyai nilai tambah diantara beberapa jenis ibadah.
Berjuang  dalam bekerja menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang didukung dengan ketekunan untuk pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai. Bekerja menuntut kecermatan dalam manajemen waktu, keprofesionalan dalam mengelola sumber daya. Dengan tegas ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah ,malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan oranglain untuk menyelesaikan pekerjaan.





[1] Al Qur’an Terjemah Per-kata, Departemen Agama,Sygma,Syaamil Al Qur’an,Bandung,hal.523.
[2] Ibid, hal.341.
[3] Yusuf Qardhawi, Halal haram dalam Islam ( cet III, Era Intermedia, Solo, 2003) hlm 189.
[4]  Al Qur’an Terjemah Per-kata Departemen Agama RI ( Sygma, Syaamil Al Qur’an, Bandung) hlm. 596.
[5]  Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, Muhamadiyah University Press ( Surakarta, Cet.I, 2004) hlm. 178.
[6]  Al Qur,an dan terjemahnya, Asy Syarif medinah Munawwarah, hlm.1099.
[7]  Abdullah Gymnastiar, Demi Masa (Menggenggam Waktu, Meraih Keunggulan Diri) (Cet V, Khas MQ, Bandung, 2006) hlm. 26.
[8]  M.Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Qur’an)( cetakan I, Lentera Hati, Jakarta, 2000) hlm. 223.
[9]  Al Qur’an dan Terjemahnya Al Jumatul Ali (Seuntai mutiara yang Maha Luhur), Departemen Agama RI, (J-Art Anggota IKAPI, 2003) hlm. 27.
[10] Yusuf Qordhowi, Al Qur’an Menyuruh Kita Sabar, Cet.1, Gema Insani Press, Jakarta, 1989, hlm.45.

2 komentar:

  1. sip.... lanjutkan
    nanti kalau makalah sudah banyak, coba yang ditampilkan satu alenia saja terus pakai pagemore...

    BalasHapus
  2. Seorang pribadi muslim yang mendapatkan amanah untuk menghidupkan iman dalam bentuk amal shaleh, tidak mungkin membuang waktu tanpa manfaat.
    LukQQ
    Situs Ceme Online
    Agen DominoQQ Terbaik
    Bandar Poker Indonesia

    BalasHapus