PENDIDIKAN ISLAM YANG MENJANJIKAN MASA DEPAN
Nurhaj Syarifah
A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi hidup manusia baik secara individu maupun sosial, karena
dengan pendidikan manusia dapat memerankan hidupnya sebagai makhluk yang dapat
memerankan hidupnya sebagai makhluk yang paling mulia di dunia ini. Pendidikan
juga merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berlangsung seumur
hidup.
Pendidikan mengandung nilai-nilai yang sangat mendasar seperti
nilai sosial, nilai ilmiah, nilai moral dan nilai agama, maka banyak orang yang
berkeyakinan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk
menumbuhkan informasi mengenai pegangan hidup masa depan dan untuk membantu
anak didik dalam menghadapi perubahan. Islam banyak memberikan petunjuk dan
aspirasi dalam beretika.
Pendidikan sebagai usaha yang dilakukan individu-individu dan
masyarakat untuk menyampaikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan
bentuk-bentuk ideal kehidupan kepada generasi muda dengan cara-cara sebagai
berikut :
a.
Memberikan
pengajaran Al Qur`an sebagai langkah pertama pendidikan
b.
Menanamkan
pengertian-pengertian dalam ajaran Islam sesuai Al Qur`an dan Sunnah
c.
Memberikan
pengertian-pengertian ajaran Islam dalam bentuk pengetahuan yang sesuai perubahan
di masyarakat
d.
Menanamkan
pemahaman bahwa ilmu tanpa iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh
e.
Menciptakan
generasi muda yang mempunyai kekuatan iman dan ilmu pengetahuan
f.
Mengembangkan
manusia Islami yang berkualitas tinggi
Tantangan
global masa depan banyak diwarnai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang mengharuskan kita untuk memfungsionalkan rasionalitas untuk mengkaji Al Qur`an untuk mewujudkan
manusia yang kaffah atau sempurna.
Indonesia
adalah negara yang memiliki paling banyak lembaga pendidikan Islam sejak dari
surau, pondok, Raudhatul Atfal (RA), TK Islam, diniyah, madrsah dan sekolah
Islam sejak taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi baik milik swasta maupun
pemerintah.
PEMBAHASAN
Pendidikan
dalam pandangan klasik dikatakan sebagai institusi atau
pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus. Pertama; menyiapkan
generasi anak manusia agar kelak dapat memainkan peranan-peranan tertetu dalam
masyarakat di masa datang. Kedua; mentransfer (memindahkan) pengetahuan,
sikap dan kecakapan tertentu sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga; mentransfer
nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai
prasyarat bagi kelangsungan hidup (survive) masyararakat dan
peradaban. Pada butir kedua dan ketiga di atas memberikan pengertian bahwa
pendidikan bukan hanya transfer of knowledges, attitudes and skills tetapi
juga sekaligus sebagai transfer of value.
Dalam perkembangan berikutnya, perluasan atau ekstensifikasi
pengertian pendidikan sejalan dengan tuntutan masyarakat, maka
lahir misalnya dua fungsi suplementasi yaitu melestarikan tata
sosial dan tata nilai yang ada dalam masyarakat, dan sekaligus sebagai agen
pembaharuan. Di sini terlihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan
perubahan. Dengan kata lain, fungsi pendidikan sebagai konservasi
budaya semakin menonjol, tetapi di sisi lain kurang (tidak) mampu
mengatasi masa depan secara akurat dan memadai. Kritik terhadap pendidikan
pada umumnya bermula dari ketidakpuasan masyarakat terhadap situasi pendidikan
yang mengalami stagnasi sehingga tidak mampu menjawab kebutuhan
masyarakat.
Vembriarto berpendapat bahwa pendidikan
setidaknya harus menjalankan empat macam fungsi, yaitu:
1. Transmisi kultutural; berupa
pengetahuan, sikap, nilai dan norma.
2. Memilih dan mengajarkan peranan sosial:
a. Mengembangkan
fasilitas untuk mengajarkan berbagai macam spekulasi.
b. Mengusahakan agar jumlah manusia yang
terlatih dan memiliki spesialisasi, sesuai dengan kebutuhan.
c. Mengembangkan mekanisme untuk menyesuaiakan talenta
dan bakat anak didik dengan spesialisasi.
3. Menjamin integrasi sosial, dan
Christoper J.Lucas (1979) mengemukakan,
pendidikan seharusnya menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan
keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang paling
berharga mengenai pasangan hidup masa depan di dunia, serta membantu
peserta didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang esensial untuk menghargai
perubahan.
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Harold G. Shane, menurutnya:
1. Pendidikan adalah cara
memperkenalkan peserta didik pada keputusan soal yang timbul.
2. Pendidikan adalah cara
menanggulangi masalah sosial tertentu.
3. Pendidikan adalah cara
menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru.
4. Pendidikan adalah cara
membimbing perkembangan manusia dan terdorong untuk memberikan kontribusi
pada kebudayaan di masa mendatang.
Perubahan menuju masyarakat madani membutuhkan
kemampuan personal yang berkualitas unggul serta profesional di bidangnya.
Itulah sebabnya pendidikan diharapkan mampu menghasilkan manusia ber-akhlaqul
karimah, berpengatahuan luas serta memiliki kemampuan
spiritual yang tinggi. Konsep ini memang tidak mudah dicapainya, tetapi
perlu diupayakan, untuk itu diperlukan kemampuan melakukan perubahan
dengan mendesain ulang konsep filosofis yang jelas dan baku, visi dan misinya,
tujuan dan fungsi lembaga, kurikulum, materi dan proses pendidikannya agar
memenuhi tuntutunan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Untuk menuju perubahan, pendidikan diupayakan
sebisa mungkin tidak semata-mata bersifat konsumtif, dalam
pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang
bersifat sementara saja, melainkan:
1. Pendidikan dapat membantu
meningkatkan kualitas iman yang aplikatif.
2. Pendidikan sebagai proses
pembebasan dan proses pencerdasan.
3. Pendidikan sebagai proses
menjunjung hak-hak anak.
4. Pendidikan sebagai
proses pemberdayan potensi manusia.
5. Pendidikan dapat
menjadikan manusia demokratis dan membangun watak persatuan.
6. Pendidikkan dapat menghasilkan manusia
cinta perdamaian dan peduli terhadap lingkungan.
Atas dasar tersebut pendidikan perlu
diorientasikan pada: 1) pendidikan berwawasan kemanusiaan dan 2)
pendidikan yang mendorong pada peningkatan sumber daya manusia (SDM).
1. Pendidikan berwawasan
kemanusiaan; pendidikan mempunyai peran strategis bagi kehidupan manusia baik
dalam konteks sosiologis maupun psikologis. Dengan konsep fitrah, Islam
memandang pendidikan sebagai berikut:
a. Pendidikan harus diorientasikan
pada upaya optimalisasi potensi dasar manusia secara keseluruhan. Artinya
pendidikan tidak semata-mata diorientasikan pada upaya penumbuhan dan
pengembangan manusia secara psikologi yang lebih menekankan pada upaya
pengayaan secara material, seperti penekanan yang berlebihan pada aspek
keterampilan.
b. Implikasi tentang pandangan kemanusiaan
tersebut mengharuskan tujuan pendidikan masa depan yang diarahkan pada
pencapaian pertumbuhan kepribadian manusia secara seimbang. Pencapaian
kepribadian yang seimbang sangat diperlukan agar prasarat manuisa di masa
depan dapat tercapai.
c. Terletak pada muatan materi dan
metodologi pendidikan; karena manusia diakui mempunyai banyak potensi dasar
yang terangkum dalam fitrah, maka muata materi pendidikan harus dapat melingkupi
seluruh potensi itu.
2. Pendidikan yang mendorong pada
peningkatan sumber daya manusia (SDM): pendidikan dalam kerangka dimensi
manusia seutuhnya (insan kamil) setidaknya harus menghasilkan dua
kepastian yang strategis, yaitu melestarikan dan mengembangkan secara terus
menerus nilai-nilai kehidupan sesuai dengan kodratnya, dan senantiasa menjaga
keharmonisan untuk meraih kehidupan yang abadi dalam
hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan khalik-Nya.
Salah satu fungsi pendidikan adalah proses
memanusiakan manusia dalam rangka mewujudkan budaya kemanusiaan. Manusia
diciptakan dalam keadaan fitrah, tepatnya potensi yang dimiliki oleh
setiap manusia dimana diri mereka pada dasarnya siap menerima kondisi
apapun yang ada di sekelilingnya dan mampu menghadapi tantangan seberat
apapun.
Oleh karena itu, pendidikan tidak lain adalah
untuk membentuk manusia kamil yang harus diarahkan pada dua
dimensi, yaitu dimensi dialektikal horisontal dan dimensi ketundukan vertikal.
Dimensi pertama pendidikan pada hakekatnya
dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan kongkrit; yaitu kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Pada dimensi
ini manusia harus mempu mengatasi tantangan dan kendala dunia kongkritnya
melalui sains dan teknologi. Dimensi kedua adalah pendidikan sains dan
teknologi; yaitu selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara
serta melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan untuk
memahami fenomena dan misteri kehidupan dalam mencapai hubungan abadi
dengan Yang Maha Pencipta.
Pendidikan dan
Tantangan Kekinian
Sebagaimana yang kita saksikan, bahwa fenomena
yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah perubahan terus menerus pada
setiap lini kehidupan yang selanjutnya banyak menimbulkan pergeseran kultur
maupur struktur di tengah masyarakat.
Usaha
pembangunan yang terus menerus dipacu oleh pemerintah telah memberi nilai
tersendiri bagi kemajuan bangsa setidaknya dalam bersaing dengan masyarakat
global terutama di bidang budaya maupun pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi harus
diakui adanya celah yang kurang kondusif bagi pengembangan sosial secara
menyeluruh.
Diakui
atau tidak, bahwa proses modernisasi dalam berbagai dimensi akan
menimbulkan ekses sampingan bagi masyarakat terutama lahirnya kecenderungan
masyarakat kepada hal-hal yang bersifat konsumtif, materialistik dan
individualistik. Hal tersebut terjadi dikarenakan masing-masing individu
dituntut untuk memenuhi kebutuhan riil sesuai dengan tuntutan pembangunan. Di
bawah ini merupakan ekses sampingan yang dialami oleh masyarakat yang sedang
membangun:
1. Berkembangnya mass culture
karena pengaruh kemajuan mass media, sehingga kultur tidak
lagi bersifat lokal melainkan bersifat nasional atau bahkan global. Hal ini
akan berakibat meningkatnya heterogenitas nilai-nilai dalam masyarakat. Maka
selain nilai-nilai agama yang diperlukan, masyarakat merasa perlu
melengkapi dirinya dengan nilai-nilai lain yang datang dari sekitarnya,
baik karena kesepakatan politik, ekonomi maupun budaya.
2. Menurunnya sikap-sikap
fatalistik dan meningkatnya sifat-sifat yang lebih mengakui kebebasan bertindak
menuju perubahan masa depan, dengan semakin dapat ditaklukannya alam,
masyarakat merasa lebih leluasa bahkan merasa lebih berkuasa.
3. Masyarakat industri pada
dasarnya dibangun atas proses yang rasional. Meskipun yang irrasional
itu nampaknya tidak bisa hilang sama sekali dari kehidupan umat manusia, akan
tetapi sebagian terbesar kehidupan semakin diatur oleh aturan-aturan yang rasional,
ini berarti pula faham-faham keagamaan atau kepercayaan yang tidak dapat
diterima rasio akan ditinggalkan.
4. Masyarakat industri juga
akan ditandai oleh semakin meningkatnya sikap hidup materialistik. Setiap
kemajuan harus dapat diukur dengan ukuran-ukuran ekonomi dan kebendaan, baik
pada tingkat individu maupun kelompok. Jika setiap masyarakat menyenangi
kenikmatan dunia itu bukan persoalan, karena sudah menjadi kenyataan sejarah
sejak zaman dulu, akan tetapi jika semua orang sepakat bahwa ukuran
keberhasilan hidup itu ialah kemajuan materi saja, justru hal yang demikian
menentang terhadap eksistensi agama, sebab agama mengajarkan bahwa keberhasilan
itu harus diukur dari dua aspek, yakni keberhasil dibidang materi dan
keberhasilan dibidang ibadah/keimanan.
5. Masyarakat industri juga
ditandai oleh maraknya urbanisasi yang pesat, hal ini dapat menimbulkan
konsekwensi tersendiri terhadap nilai-nilai agama dan nilai-nilai yang telama
berlaku di masyarakat.
Jalaluddin Rahmat (1997) memberi
ilustrasi bahwa pendidikan telah melahirkan para ahli di bidangnya, mereka bisa
melahirkan teknologi nuklir yang dapat memberi sumber energi, ketika
sumber energi lain mulai menyusut. Dunia kedokteran telah menggunakan teknologi
nuklir, bukan saja untuk mendiagnosis penyakit melainkan juga untuk membunuh
sel-sel kanker. Pion cance therapy misalnya, menggunakan tembakan
partikel pion untuk membunuh tumor ganas. Tetapi, seperti yang kita
ketahui, lebih dari 50.000 senjata nuklir yang ada di dunia sekarang ini
memiliki daya penghancur jutaan kali bom yang jatuh di Hirosima. Biologi dan
kimia telah melahirkan teknologi yang mempertahankn struktur kehidupan modern,
seperti purifikasi air, pembuangan sampah, imunisasi, peningkatan produksi
pertanian, kesehatan, pengobatan, pengolahanan dan penyimpanan makanan.
Sekarang bioteknologi sudah sanggup dengan teknik pembelahan ‘gen” atau recombinant
DNA menjadikan bakteri-bakteri semacam pabrik kimia yang menghasilkan
insulin dan interferon. Insulin diperlukan oleh mereka yang menderita diabetis,
dan interferon diperlukan oleh mereka yang mengidap penyakit kanker. Tetapi,
kemajuan biokimia juga telah dipakai untuk mengembangkan senjata pemusnah
massal bukan untuk memusnahkan hama penyakit akan tetapi juga untuk manusia .
Teknologi ruang angkasa telah melahirkan satelit yang dapat digunakan
untuk navigasi, ramalan cuaca, monitor sumber daya
alam, menunjukkan masalah polusi, kegagalan panen, atau penyakit hewan.
Pada saat yang sama lebih dari seribu delapan ratus satelit yang sekarang
berada di ruang angkasa telah dipakai untuk tujuan-tujuan militer, di
samping untuk menghancurkan sesama satelit sehingga ruang angkasa penuh dengan
sampah-sampah radioaktif
Teknologi pengobatan lingkungan dapat dipakai untuk menyelamatkan suatu daerah
dari bahaya banjir, mencegah desertifikasi (meluasnya gurun pasir), atau
menyediakan air bagi daerah yang kekeringan. Namun, teknologi ini juga telah
dapat digunakan untuk peperangan geofisik: menimbulkan kebakaran hutan,
penyimpangan air sungai, gempa bumi, gelombang laut, atau ledakan vulkanis.
Revolusi teknologi juga telah menimbulkkan saluran-saluran komunikasi yang
baru. Radio dapat dikaitkan dengan pesawat telepon sehingga sinyal dapat
dikirim ke kantor, rumah, mobil, atau ke beeper portabel, semacam
telepon saku. Telepon dapat digunakan untuk telekonferensi, atau dikombinasikan
dengan rekaman dan komputer guna menyebarluaskan informasi. Namun, secara
diam-diam melebarnya perluasan dan intensitas jaringan-jaringan informasi juga
bisa mendorong perilaku-perilaku negatif.
Akibat lain dari revalusi teknologi dan informasi tersebut adalah terjadinya
revolusi sosial. Revolusi teknologi pada umumnya akan menempatkan negara-negara
superpower pada kedudukan yang menguntungkan secara politis, ekonomis,
dan kultural. Banyak negara-negara terbelakang akan memandang negara-negara
Barat sebagai rujukan nilai, maka akan terjadi tidak saja ketergantungan
politis dan ekonomis, tetapi juga kultural. Di sini nilai-nilai agama khusunya
Islam akan banyak berbenturan dengan nilai-nilai Barat.
Karena adanya ekses sampingan yang kurang menguntungkan dari teknologi
tersebut, kini timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika
dalam pengembangan teknologi. Di beberapa negara maju telah didirikan
lembaga-lembaga “pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal
diantaranya ialah The Institut of Society, Ethics and Life Sciences di
Hastings, NewYork.
Berkaitan dengan berbagai problem sosial
tersebut, maka perlu untuk direnungkan hal-hal berikut, bahwa
pendidikan bukanlah sekadar proses alih budaya atau alih ilmu pengetahuan (transfer
of knowledge) tapi sekaligus sebagai proses alih
nilai-nilai kemanusiaan (transfer of human values), dengan tujuan
menjadikan manusia yang bertakwa kepada kepada Allah. Inilah tujuan
utama pendidikan.
Membangun Pendidikan Ideal
Dalam konteks “makro pendidikan”, pendidikan
tidak hanya semata-mata diarahkan pada penumbuhan dan pengembangan manusia
yang secara filosofis lebih menekankan pada pencapaian secara material.
Pendidikan bukan hanya diarahkan pada upaya pengayaan aspek mental
spiritual dalam rangka mengejar tujuan normative, melainkan juga diarahkan
untuk tercapainya manusia yang sempurna secara etik maupun moral
serta mempunyai kepekaan susila. Jika tidak demikian, pendidikan akan
terjebak pada pola yang bercorak dualisme dikotomik. Sementara dalam pandangan
Islam, pendidikan merupakan rekayasa insaniyah yang berjalan secara
sistematis yang dikembangkan dalam rangka keutuhan manusia, sesuai dengan
potensi fitrahnya. Maka muatan pendidikan yang hanya mementingkan salah satu
aspek dari keduanya tidak akan mengantarkan manusia pada corak
personalitas yang utuh.
Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa pendidikan hendaknya serba meliputi.
Sebagaimana yang terungkap dalam QS. Luqman (31):1-34.
Intinya, pendidikan hendaknya memberi penyadaran potensi fitrah
keagamaan, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fitrah), akhlak serta
tingkah laku yang sesuai dengan ajaran Islam, menggerakkan dan menyadarkan
manusia untuk senantiasa beramal shaleh dalam rangka beribadah kepada Allah.
Dalam merumuskan hakekat pendidikan, A
Malik Fadjar (1999) menawarkan “pendidikan
idealistik”, yakni pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik dan
berakar budaya kuat. Adapun pendidikan yang idealistik ini bisa dijelaskan
sebagai berikut:
1. Pendidikan integralistik; yakni mengandung
komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Tuhan, manusia dan alam pada umumnya
sebagai suatu yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta
pendidikan yang menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani,
intelektual, perasaan dan individu-sosial.
Pendidikan yang integralsitik diharapkan bisa
menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersyukur dan
menyatu dengan kehendak Tuhannya, yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri
(agar tidak memiliki kepribadian belah), menyatu dengan masyarakatnya (agar
bisa menghilangkan disintegrasi sosial), dan bisa menyatu dengan alam (agar
tidak berbuat kerusakan).
2. Pendidikan yang humanistik memandang manusia
sebagai manusia; yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu.
Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan, mempertahankan, dan
mengembangkan hidup. Sebagai makhluk batas –antara hewan dan malaikat- ia
menghargai hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk berlaku dan diperlakukan
dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang dan lain
sebagainya.
Pendidikan yang humanistik diharapkan dapat
mengembalikan hati manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk, khaira
ummah. Manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yang
humanistik diharapkan bisa berfikir, berasa dan berkemauan, dan bertindak
sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti
sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang
kepada sesama manusia, sifat ingin memberi dan
menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan lain
sebagainya.
3.Pendidikan yang pragmatik; adalah
pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan
sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik
bersifat jasmani, seperti pangan, sandang, papan, sex, kendaran dan sebagainya;
juga bersifat rohani, seperti berfikir, merasa, aktualisasi diri, kasih
sayang dan keadilan maupun kebutuhan sukmawi seperti dorongan untuk berhubungan
dengan Adikodrati.
Pendidikan yan pragmatik diharapkan
dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya,
peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat membedakan manusia dari
kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
4. Pendidikan yang berakar kuat,
yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik
sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa atau
kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat diharapkan dapat
membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya pada diri
sendiri dan membangun peradaban berdasarkan budayanya sendiri yang merupakan
warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan orang yang anti
kemodernan, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar.
Jika dirumuskan, maka proses
pembentukan manusia seutuhnya (insan kamil), akan diwujudkan melalui
pendidikan yang berorientasi pada pengembangan sains, teknologi dan penanaman
nilai-nilai kemanusiaan (fitrah) untuk membebaskan manusia dari belenggu
kehidupan serta mendapatkan pemahaman hakiki tentang fenomena atau
misteri di balik kehidupan nyata, guna memperoleh kebahagiaan yang abadi di
sisi Allah. Itulah pendidikan yang bermakna secara horisontal
sekaligus vertikal yang akan menghasilkan manusia berkualitas iman kepada
Allah, komitmen dengan ilmu pengetahuan serta senantiasa beramal shaleh.
Keseluruhan aspek yang tercakup
dalam konfigurasi kesatuan iman, ilmu dan amal shaleh merupakan takaran bagi
pembentukan kerangka ideal manusia yang bertaqwa kepada
Allah, cerdas, kreatif. Yakni manusia yang berdaya
cipta, bercita rasa, berjiwa karsa. Di dalam dirinya terdapat kesimbang
dalam tiga aspek yaitu kognitif, efektif dan motorik yang diperlukan untuk memainkan
peran pada zamannya. Itulah blue print manusia masa depan yang memiliki
kualitas dzikir, fikir dan amal shaleh sekaligus.
By : Nurhajs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar