KEPUASAN
PERNIKAHAN DITINJAU DARI
KEMATANGAN
PRIBADI
A.
PENDAHULUAN
1.
PERMASALAHAN
Manusia senantiasa hidup berkembang
sesuai dengan pengalaman yang diperoleh melalui proses belajar dalam hidupnya.
Manusia tercipta sebagai makhluk individu dan makhluk social. Sebagai makhluk
social senantiasa membutuhkan oranglain, selalu berinteraksi saling
bersosialisasi maupun bertukar pengalaman serta untuk meneruskan keturunan.
Meneruskan keturunan dapat ditempuh melalui proses pernikahan yang kemudian
terbentuklah sebuah keluarga. Pada dasarnya manusia terpanggil untuk hidup
berpasang-pasangan. Manusia dapat menemukan makna hidupnya dalam pernikahan.
Sebagian orang menganggap bahwa pernikahan membatasi kebebasannya, tetapi
bagaimanapun juga sebagian besar dari masyarakat mengakui bahwa pernikahan
memberikan jaminan ketentraman hidup.
Kepuasan pernikahan seseorang
ditentukan oleh tingkat terpenuhinya kebutuhan, harapan dan keinginannya.
Persepsi individu menjadi dasar penilaian terhadap kepuasan pernikahannya. Idealnya
suatu pernikahan adalah apabila antara pasangan suami istri memiliki kematangan
baik secara biologis maupun psikologis. Kematangan biologis adalah apabila
seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia maupun fisik/jasmani.
Sedangkan kematangan psikologis adalah apabila seseorang dapat mengendalikan
emosinya dan dapat berfikir dengan baik.
Kematangan pribadi sangat besar
artinya bagi pasangan yang berumahtangga. Suami istri yang belum matang dari
segi pribadi di dalam membina pernikahan akan sering terjadi pertengkaran,
percekcokan bahkan kalau dibiarkan terus menerus akan menjurus ke perceraian.
Kematangan pribadi dapat dilihat pada kemampuan penyesuaian diri dan perilaku
yang positif dalam mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik. Kemampuan ini
selain dapat menjaga keseimbangan juga akan mendatangkan rasa puas dan bahagia
baik bagi individu maupun oranglain.
B.
PEMBAHASAN
1.
KEMATANGAN DIRI
Kematangan
pribadi menurut Matindas mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: keutuhan
identitas, keterbukaan, daya kritis, keluasan minat, kehangatan, dan kepedulian
sosial. Terdapat hubungan antara unsur penjabaran tiap dimensi itu. Responden
yang mempunyai nilai kematangan tinggi, umpamanya, menunjukkan sikap yang
terbuka, sekaligus memiliki sifat kritis, juga bermoral teguh, bisa menerima
diri, dan produktif.
Melihat ada kesamaan ciri ini, Matindas membagi nilai
kematangan ini bermuara pada tiga kategori:
a.
Kearifan
Orang arif adalah orang yang selalu menguji informasi,
tidak mendambakan hal-hal di luar batas kemampuan, tidak banyak mengeluhkan
situasi, dan menghargai kejujuran. ''Artinya, orang yang bila membuat keputusan
bukan hanya berdasar pertimbangan kebenaran logika, tapi juga moral,''.
b.
Keluwesan
Tingkah laku luwes, artinya ramah, bisa menerima
keterbatasan orang lain, menahan diri untuk menjaga perasaan orang.
c.
Kemandirian
Kemandirian yaitu tingkah laku yang antara lain
menunjukkan rasa percaya diri, berani membuat keputusan tanpa dukungan orang
banyak, keberanian mengkritik, dan tidak mengalah terhadap keinginan mayoritas.
Nilai yang patut dikembangkan itu adalah keluasan minat (antara lain
mempelajari hal baru), terbuka (umpamanya menenggang perbedaan pendapat),
pengendalian diri, kehangatan (misalnya tidak mudah tersinggung), dan
penerimaan diri (antara lain bisa menertawakan diri sendiri).
Taraf kematangan pribadi berkembang
dengan bertambahnya umur dan dari hasil belajar pada lingkungan. Dan proses
perkembangannya bisa tersandung seandainya orang mengalami krisis dalam
pemuasan kebutuhannya.
2. KEMATANGAN KEPRIBADIAN
Menurut Gordon W.Allport. Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari system psiko-fisik
indvidu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran indvidu secara khas.
Maksud dinamis pada
pengertian tersebut adalah perilaku mungkin saja berubah-ubah melalui proses pembelajaran
atau melalui pengalaman-pengalaman, reward, punishment, pendidikan dsb.
Kepribadian adalah
semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan
digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan
baik dari luar maupun dari dalam.
Perkembangan
kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah
pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan,
mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.
Dalam bahasa latin asal
kata personaliti dari persona (topeng), sedangkan dalam ilmu psikologi menurut,
Gordon W.Allport : suatu organisasi yang dinamis dari system psiko-fisik
individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas.
Interaksi psiko-fisik mengarahkan tingkah laku manusia.
Kepribadian adalah
ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan
diri kita. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan
bentukan yang kita terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada
masa kecil kita dan juga bawaan-bawaan yang dibawa sejak lahir.
Jadi yang disebut kepribadian itu sebetulnya adalah
campuran dari hal-hal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat
fisik.
Pengertian di atas
merujuk pada ciri-ciri perilaku yang kompleks terdiri dari temperamen (reaksi
emosi yang cenderung menetap dalam merespon situasi atau stimulus lingkungan
secara spontan), emosi yang bersipat unik dari individu. Reaksi yang berbeda
dari masing-masing individu menunjukkan perbedaan kepribadian.
Kebiasaan dalam memanfaatkan waktu setiap hari
tersebut merupakan hasil interaksi antara genetik, kondisi otak, persyarafan
dan faktor psikologis.
3. KEPRIBADIAN ISLAM
Kepribadian dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah,
berasal dari kata syakhshun, artinya, orang atau seseorang atau pribadi.
Kepribadian bisa juga diartikan identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh).
Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam As Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid I
halaman 5, menyatakan bahwa kepribadian atau syakhshiyyah seseorang dibentuk
oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah).
Tinggi rendah identitas atau jati diri seseorang
tergantung dari kemampuan berpikirnya dan tingkah laku atau aktivitas hidupnya.
Secara nyata bisa kita amati di sekeliling kita. Dalam suatu lingkungan
masyarakat, bangsa atau negara muncul orang-orang tertentu yang menjadi
pemimpin dan penggerak massa. Mereka mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu
dalam bidang pemikiran dan pemecahan problema masyarakat.
Kita jumpai pula di masyarakat adanya orang-orang yang
hanya menjadi beban, bahkan menjadi sampah masyarakat. Mereka tidak mampu
memecahkan masalah mereka sendiri, apalagi memecahkan masalah masyarakat. Di
antara dua contoh ekstrim di atas; ada orang-orang yang mampu menyelesaikan
masalah-masalahnya sendiri, tetapi tidak mampu atau tidak mau memecahkan
problema orang lain. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka menghabiskan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk menggeluti kesenangannya sendiri. Orang-orang
demikian tidak banyak berpikir dan bekerja kecuali untuk dirinya. Hati mereka
terpisah dari masyarakat.
Posisi seseorang di suatu masyarakat tergantung dari
seberapa tinggi kualitas hubungan (nilai interaksi) dirinya dengan anggota
masyarakat yang lain. Kualitas hubungan itu berupa nilai aktivitas (amal) yang
terjadi yang melibatkan dirinya dengan orang-orang lain.
Oleh karena itu, terbentuknya tingkat kepribadian
seseorang di dalam masyarakat berkaitan dengan nilai aktivitas yang dia lakukan
dalam berinteraksi dengan pribadi-pribadi anggota masyarakat yang lain. Pembentuk
kepribadian dan ukuran-ukuran penilaian suatu kepribadian bukanlah harta
seseorang, bentuk rupanya, badannya atau hal-hal fisik lain yang hanya
merupakan asesori atau menjadi kulit-kulit luar suatu kepribadian, melainkan
isi dalam diri seseorang, yakni cara berpikirnya dan sikap jiwanya.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa syakhshiyyah
Islamiyyah atau kepribadian Islam adalah perpaduan antara cara berfikir
Islami (aqliyyah Islamiyyah) dan sikap jiwa Islami (nafsiyyah
Islamiyyah) yang terdapat dalam diri seorang muslim. Seorang muslim bisa
dikatakan memiliki cara berfikir yang Islami (aqliyyah Islamiyyah)
manakala ia sudah bertekad untuk memikirkan segala sesuatu dan setiap problema
yang dihadapinya dengan cara pandang dan cara-cara pemecahan Islam. Ia hanya
bertekad hanya akan menggunakan kaca mata Islam.
Seorang muslim bisa dikatakan memiliki sikap jiwa Islami (nafsiyyah
Islamiyyah) manakala dia telah bertekad untuk membimbing dan memenuhi
segala keinginan hawa nafsunya dengan cara-cara pemuasan Islam. Rasulullah saw.
bersabda:
"Tidaklah beriman salah seorang di anatara kalian hngga ia membimbing
hawa nafsunya selalu mengikuti apa (Islam) yang kubawa ini" (HR. Imam
Nawawi).
Dengan demikian seorang muslim baru dikatakan memiliki
kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) manakala ia telah bertekad
dalam hatinya untuk selalu memiliki aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah
Islamiyyah. Seorang muslim tidak mungkin bertekad seperti itu manakala
belum memahami dan memiliki aqidah Islamiyyah secara benar. Aqidah Islamiyyah
yang tidak lain adalah keimanan kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, Al Qur'an
dan kitab-kitab-Nya yang lain, Nabi Muhammad Saw. dan para Rasul-Nya yang lain,
hari kiamat, dan qadla-qadar-Nya adalah pemikiran yang paling mendasar yang
akan menjadi standar bagi seluruh pemikiran-pemikiran lain yang diproses oleh
akal seorang muslim.
Oleh karena itu, memperoleh aqidah Islamiyyah ini
harus melalui proses berfikir. Imam As Syafi'i r.a. dalam Fiqhul Akbar
mengatakan bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir
tentang dirinya dan alam semesta ini hingga mendapatkan kesimpulan bahwa Allah
adalah Rabbul'alamin (Pencipta dan Pemelihara sekalian alam).
Pencapaian aqidah melalui proses berfikir, meneliti,
dan mengamati adalah aqidah yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan
akal seorang muslim. Aqidah yang diperoleh melalui warisan semata atau sekedar
hafalan rukun iman seperti yang diajarkan kepada murid sekolah dasar tidak akan
menghunjam kuat pada hati seseorang, tidak menjadi mafahim atau pandangan hidup
baginya, dan tidak menentukan pola berpikir maupun pola sikap dan jiwanya. Oleh
karena itu, jika ingin menghasilkan kepribadian Islam yang unggul maka harus diintroduksikan
kepada kaum muslimin aqidah Islam yang diperoleh melalui proses berfikir ini
sehingga akan terbentuk pribadi-pribadi yang memiliki kemajuan dan kebangkitan
dalam cara berpikir dan dalam pengendalian diri.
Program kematangan kepribadian di antaranya : Mengontrol diri sendiri baik
segala kelebihan maupun kekurangan; Sopan Santundalam berbicara dan bertingkah
laku; Hidup sehat; Qanaah/menerima apa adanya; Mengontrol emosi dan bersabar di
saat mendapat kekecewaan; Makan teratur; Dapat menyesuaikan diri di linhkungan
keluarga dan masyarakat; Berpakaian rapi; Menerima emosi manusia; Disiplin
terhadap diri sendiri; Mengorbankan kepentingan pribadi semi kepentingan
bersama; Selalu berfikiran positif; Bersifat hangat terhadap orang lain; Berhati-hati
dalam mengerjakan tugas; 3. Peduli
terhadap lingkungan sekitar ; Menjaga
kebersihan; Terampil dalam mengerjakan tugas.
4. MACAM-MACAM KEMATANGAN DIRI
Dalam perjalanan kehidupan seseorang
bisa mempunyai 8 kematangan pribadi yakni:
a.
Kematangan Diri
secara emosional (Ahklaq)
Mendewasakan emosional sebelum
memasuki dunia nyata sangatlah penting bagi kita semua terlebih-lebih yang
hendak menjalin hubungan antar sesama, seperti halnya “Kematangan Diri Secara Sosial” secara
emosional juga sangatlah penting.
Jika kita sudah bisa mandiri secara emosional yang berakar dari berbagai emosi , harus bisa melepaskan
ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua dan kerabat
dekat lainnya.
Sebagai contoh dalam sebuah rumah tangga,
pernah menjumpai (melihat dan mendengar) sebuah rumah tangga dimana antara
suami dan istri belum terikat kuat secara emosional.
Sang istri lebih kuat ikatan emosionalnya kepada orang
tua daripada kepada suaminya. Setiap datang permasalahan ia langsung lari
kepada kedua orang tuanya, tanpa berusaha terlebih dahulu menyelesaikannya
bersama dengan suami. Dia lebih mengutamakan taat kepada orang tuanya daripada
suaminya, tentu hal ini tidak baik bukan? Karena ketaatan yang lebih utama bagi
seorang wanita yang punya suami setelah taat kepada Tuhannya adalah taat kepada
suaminya.
”Aisyah Ra. berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah
Saw “Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap seorang perempuan?
Sabdanya : Suaminya!” Lalu saya bertanya: “Siapakah orang yang paling besar
haknya atas diri seorang laki-laki?” Sabdanya: “Ibunya!” (HR. al-Bazaar dan
disahkan oleh al-Hakim).
Dan begitu pula tidak jarang sang
suami justru yang masih kolokan (manja dan kekanak-kanakan). Dirinya sering
meminta tolong orang tuanya untuk meminta tanggung jawab istrinya selama
mendampinginya. Suami yang memiliki karakter seperti ini tentu kurang dapat
bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya, padahal ia adalah seorang
kepala keluarga. Rumah tangga yang seperti ini tentulah kurang baik dan kurang
bisa mandiri, karena masih memerlukan penggembalaan orang tua. Oleh karena itu,
seorang suami dituntut untuk bisa dewasa secara emosional selaku seorang kepala
keluarga, sehingga bisa bersikap baik terhadap keluarga yang dibinanya. Itulah
yang dianjurkan Rasulullah Saw.
Demikianlah kurang lebihnya akan
perlunya memiliki kematangan emosional, yaitu melepaskan diri dari
ketergantungan kepada orang yang selama ini dominan terhadap dirinya, seperti
orang tua dan lain-lain. Tujuannya adalah agar lebih mesra menjalin hubungan
dengan orang yang menjadi pasangan hidupnya, sehingga bisa melaksanakan apa
yang menjadi kewajiban dirinya.
b.
Kematangan Diri
secara Sosial (Ukhuwah)
Kematangan sosial seseorang secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai kemampuan dirinya untuk beradaptasi dan
menjalin hubungan yang sehat dan memuaskan dengan orang lain. Dan seseorang
dikatakan matang secara sosialnya, apabila ia mampu memahami kondisi orang lain
baik kekurangan maupun kelebihan yang dimilikinya. Selain itu dirinya juga
harus bisa menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri. Dan
apabila seseorang memiliki kemampuan seperti itu, tentu akan memudahkan dirinya
untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak lain.
Kematangan sosial merupakan hal yang
sangat penting apabila hendak membina hubungan persahabatan, kekerabatan dan
tentu saja hubungan rumah tangga, karena sebelumnya satu dengan yang lainnya
adalah orang asing yang berbeda karakter dan latar belakangnya serta
masing-masing pihak pasti memiliki kekurangan maupun kelebihan.
Dengan demikian seseorang yang memiliki kematangan
sosial, Insya Allah akan lebih bisa memahami kekurangan serta menerima
kelebihan orang lain dalam hubungannya tsb. Selain itu dengan kematangan sosial
ini pula, diharapkan menjadi lebih sadar bahwa kekurangan orang lain adalah
ladang beramal shaleh yang diberikan oleh Allah buat dirinya dengan menutupi
kekurangan yang lainnya tersebut. Sementara kelebihan yang dimiliki pasangan
hidupnya dapat mengingatkan dirinya kepada Allah karena telah diberi nikmat
tersebut.
Hubungan yang baik hanya terjadi
jika masing-masing pihak bisa menjaga hubungan tersebut diantara keduanya,
dapat menepis sikap egois masing-masing pihak, demi kebaikan bersama. Apabila
komunikasi memburuk, mungkin dalam hal ini menandakan hubungan tersebut belum
memiliki kematangan sosial.
Dari hal itulah kita semua sangat dianjurkan untuk
memperbanyak melakukan siturahim kepada sesama sebagai jalan untuk menguatkan
tali ukuwah dan sebagai sarana untuk mendapatkan kematangan sosial. Dengan
silaturahim akan menjadikan hati semakin dekat, sehingga ukuwah akan semakin
kuat terjalin dan timbul rasa untuk saling memahami dan menerima kelebihan
serta kekurangan masing-masing.
c.
Kematangan Diri
secara Spiritual (Aqidah)
Kematangan beragama adalah bersifat
niscaya, tetapi yang menentukan karakter dan nilainya adalah kandungan atau
landasan intelektual dari agama tersebut- bukan sebatas perasaan. Kematangan
beragama telah mengindikasikan bahwa seseorang memiliki landasan teologis yang
kuat, disertai dengan pengaplikasian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
sebuah agama. Dengan kata lain, kematangan beragama merupakan nilai-nilai
spritual yang mencapai kedewasaan dalam mengimplementasikan substansi agama
secara holistik, bukan parsial. Hal ini disadari, karena untuk mencapai
kematangan beragama, niscaya kita dituntut agar memiliki kesadaran intelektual
dan sipritual secara bertahap dalam rangka menuju spiritualitas yang tinggi.
Kesadaran intelektual dan spiritual merupakan kunci utama kita dalam menelusuri
jejak-jejak ma’rifat dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kematangan beragama tidak jauh beda
dengan spirit keagamaan seseorang. Itulah sebabnya, kenapa pemahaman tentang
hal itu cukup sulit dan membutuhkan keseriusan yang sangat tinggi. Pertama, proses
perkembangan keagamaan seseorang tidak pernah selesai dan utuh. Dalam artian,
selalu bersifat konstan sesuai dengan tingkat kematangan dan kedewasaan kita
dalam menyelami religiusitas yang lebih menjanjikan. Itulah mengapa, kita harus
terus berpacu dengan waktu untuk mendalami kandungan yang terdapat dalam ajaran
agama, sehingga mencapai puncak spiritual (peak of spiritulity) yang
membanggakan.
Kedua, kematangan beragama bukan berarti sama dengan kematangan fisik seseorang. Semua itu diperoleh melalui proses panjang yang sangat melelahkan dan membutuhkan kedewasaan, sehingga membentuk keyakinan yang kuat dalam mencapai kematangan. Ketiga, adaya ketergantungan pada satu konsep keagamaan, dan kematagan beragama boleh saja kita pahami dalam berbagai pandangan, karena masing-masing memiliki alasan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan.
Kedua, kematangan beragama bukan berarti sama dengan kematangan fisik seseorang. Semua itu diperoleh melalui proses panjang yang sangat melelahkan dan membutuhkan kedewasaan, sehingga membentuk keyakinan yang kuat dalam mencapai kematangan. Ketiga, adaya ketergantungan pada satu konsep keagamaan, dan kematagan beragama boleh saja kita pahami dalam berbagai pandangan, karena masing-masing memiliki alasan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan.
Ada dua pandangan yang sangat
relevan dengan pemahaman kematangan beragama.
Pertama, dari sudut pandangan individu
Memahami sebagai esensi yang paling tinggi dari
perkembangan kedewasaan bergama, walaupun hal itu dalam aspek individu kurang
berarti dan berbeda dari yang lain. Dengan kata lain, sudut pandang yang
pertama adalah sangat signifikan bagi kematangan beragama.
Kedua, dari sudut pandang universal
Dimana kita dapat berpikir bahwa konsep ideal itu,
menunjukkan bahwa perkembangan keagamaan dapat kita ukur dan dikomparasiakan
dengan pandangan yang lain.
Pemahaman kematangan bergama selalui
terkait dengan spirit keagamaan seseorang dalam mencapai pengalaman dan
kesadaran beragama. Kematangan beragama bertujuan guna mencapai sebuah
penilaian-spiritual dalam kaitannya dengan nilai total dan makna positif.
Kematangan beragama adalah
dipertimbangkan oleh nilai kritik, kreativitas, otonomisasi. Dalam artian,
kapasitas kedewasaan atau kematangan dapat kita identifikasi melalui refleksi
dan kepercayaan diri yang bisa ditemukan dalam ekspresi kehidupan beragama
kita.
Konsep
Kematangan Beragama Menurut Allport
Menurutnya, kematangan beragama adalah sebuah karakter
utama yang dilandasi oleh tiga faktor, yakni, kemampuan untuk memahami sifat
kepribadian seseorang, melalui objektivikasi diri atau mampu memahami filsafat
kehidupan.
Dalam konteks ini, konsep kematangan beragama menurut Allport adalah sebagai berikut:
Dalam konteks ini, konsep kematangan beragama menurut Allport adalah sebagai berikut:
Pertama, sentimen kematangan beragama pertama kali
adalah dibedakan hal-hal yang baik atau kritik terhadap dirinya sendiri. Dengan
kata lain, orang mulai sadar bahwa bertahan ketika agama dikritik.
Kedua, Allport menemukan bahwa kematangan beragama
terkait dengan tekanan emosi yang sangat kuat. Konsep ini dikembangkan melalui
”functional autonomy” sebagai motivasi karakter.
Ketiga, kematangan beragama adalah konsistensi dari
konskwensi moral. Dalam konteks ini, perkembangan logika dipengaruhi oleh
motivasi agama yang memiliki kekuatan terhadap perilaku seseorang.
Keempat, yang berhubungan dengan konsistensi
kematangan beragama adalah comprehensiveness sebagai filosofi kehidupan. Dalam
konteks ini, Allport hendak mengatakan bahwa poin penting dari keyakinan yang
komprehensif salah satu satunya adalah mengedepankan sikap toleransi.
Kelima, salah satu indikasi kematangan beragama dalam
pandangan Allport adalah bersifat integral. Dalam artian, orang yang memiliki
kematangan beragama pasti dalam hidupnya akan menemukan keharmonisan dan
kedamaian sesuai dengan tujuan awalnya untuk dekat dengan Tuhan.
Keenam, terakhir Allport mengatakan bahwa kriteria
kematangan beragama sangat ditentukan oleh sikap heuristic yang terdapat dalam
pribadi manusia masing-masing.
Konsep
Kematangan Beragama Menurut William James
Kematangan beragama dalam pandangan James, lebih
menitikberatkan pada pengalaman keagamaan yang telah direngkuh seseorang dalam
rangka mencari jati diri dan makna hidup yang sebenarnya. Dalam konteks ini,
James membagi kriteria kematangan beragama dalam empat aspek yang merupakan
kondisi terdalam dalam jiwa manusia.
Pertama, sensibilitas akan eksistensi kekuasaan Tuhan.
Kekuasaan ini seringkali diidentifikasi sebagai manifestasi Tuhan, tetapi tidak
jarang juga berkaitan dengan hal-hal yang mistis yang tidak bisa dipahami
manusia.
Kedua, kesinambungan dengan Tuhan dan pasrah.
Kesinambungan dipahami telah terjadi keselarasan yang pada gilirannya dapat
mengontrol ego manusia, sehingga menciptakan keramahan dan persahabatan antar
sesama.
Ketiga, perubahan emosi yang terdalam. Dalam konteks
ini, kematangan dalam konsep James dapat memberikan pengaruh signifikan
terhadap stabilitas dan konsistensi emosi seseorang, sehingga perubahan emosi
tersebut dapat terkontrol dengan sempurna dan tanpa mengedepankan egos yang
berlebihan.
Keempat, perasaa bahagia, kasih sayang, dan
keharmonisan akan tumbuh berkembang, jika seseorang sudah matang dalam
melaksanakan agamanya. Tak heran, kalau kematangan beragama seringkali dipahami
sebagai bagian dari kedamaian hati yang terdalam, sehingga bisa menciptakan
keselarasan dalam hidup.
Konsep
Kematangan Beragama Menurut Wiemans
Wieman membagi norma atau standar kematangan beragama
sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Pertama, tujuan hidup layak ditinjau
dari segi kemanusiaan. Kedua, loyalitas yang sempurna. Ketiga, efisiensi dalam
mencapai tujuan. Keempat, sensitfitas dalam memandang nilai. Kelima, loyalitas
yang terus tumbuh. Keenam, loyalitas sosial.
Konsep
Kematangan Beragama Menurut Eric Fromm
Fromm membandingkannya dalam dua konteks. Pertama,
keagamaan otoriter, yang dipahami sebagai sebuah ajaran yang datang dari luar
dan bersifat otoriter atau mengekang terhadap pribadi seseorang. Kedua,
keagamaan humanis. Konsep ini dipahami sebagai bentuk kerinduan akan nilai
agama dalam pribadinya, sehingga bersifat humanis.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kematangan
beragama merupakan pengalaman puncak dari spiritualitas yang terdapat dalam
konsep keagamaan. Ketika orang mencapai kematangan beragama, maka ia akan
menjadi manusia beragama yang taat dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Pikiran
dan batin orang yang mencapai kematangan beragama biasanya jauh dari hal-hal
yang kotor.
d.
Kematangan Diri
secara Intelektual (Ilmiy)
Kedewasaan tidak selalu berkaitan
dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti
kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk
memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan
dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun,
ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan
emosi. Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih
cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior,
serta mempunyai kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih
baik.
Kematangan pribadi akan menghasilkan proses berpikir secara rasional dan
bertindak secara terarah dan akhirnya meningkatkan kemampuan intelegensia. Faktor intelejensia (IQ) turut berperan dalam logika dan kreativitas berfikir yang
jernih dan murni dalam sebuah pengambilan keputusan. Kreativitas berfikir yang
dikombinasi dengan kemurnian logika dan keberanian mengambil resiko.
e.
Kematangan Diri
secara Fisik (Jasadiyah)
Tuntutan untuk menjadi berubah serta
berkembang kearah kemandirian dan kematangan sangat dibutuhkan, karena pada
masa remaja diperlukan penemuan identitas diri serta mampu mempersiapkan
dirinya untuk masa depan dan mampu menjawab pertanyaan tentang dirinya.
Individu yang sering melakukan
hubungan sosial dengan baik serta seringnya dapat memecahkan masalah yang
dihadapi, dengan pengalamannya maka dia akan mudah memberikan keyakinan dalam
dirinya kalau dia akan mampu melakukan tindakan untuk mencapai tujuan dengan
berhasil. Dalam melakukan hubungan sosial tersebut dibutuhkan kematangan emosi
agar dapat mengontrol emosi serta mengekspresikan emosi tersebut secara wajar
tidak berlebihan, selain itu mampu merespon suatu masalah dengan dewasa yakni
mampu memberikan solusi yang tepat dan dapat diterima oleh lingkungan.
Self efficacy merupakan persepsi
individu tentang dirinya sendiri mengenai seberapa baik diri ini dapat
berfungsi dalam situasi tertentu. Agar persepsi tersebut dapat diyakini dan
diterapkan dalam masyarakat maka dibutuhkan sekali adanya kematangan emosi,
dengan kematangan emosi maka remaja akan menghubungkan persepsi tersebut dengan
kemampuan untuk mengenali, menafsirkan dan bereaksi secara tepat terhadap
situasi-situasi sosial dan juga cara-cara yang dapat diterima sosial dan pada
saat yang sama tidak merugikan fisik dan psikis individu itu sendiri.
Self efficacy juga merupakan
keyakinan seseorang atas kemampuan dirinya dalam mengorganisasikan dan
melaksanakan serangkian tingkah laku guna mencapai tujuan. Dengan keyakinan
tersebut remaja diharapkan mampu mewujudkan keyakinan yang ada menjadi suatu
kenyataan keberhasilan yang dapat diterima masyarakat, dengan begitu maka
keyakinan tersebut sangat dipengaruhi adanya kematangan emosi, karena dengan
kematangan emosi remaja akan memiliki kontrol dukungan sosial yakni mampu
mengendalikan ekspresi emosi disaat dia mengalami ketidak sesuaian sosial
dengan menyalurkan emosinya secara fisik dan mental dengan cara yang lebih
diterima orang lain, selain itu dengan kematangan emosi remaja akan mampu
mengenali dirinya sendiri dalam artian dapat mengetahui sejauh mana diri ini
dapat mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan untuk memenuhi kebutuhan
sendiri dan mengarahkan pada harapan yang sesuai dengan masyarakat, dengan
kematangan emosi pula remaja akan mampu berpikir kritis dalam artian mampu
menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional
dan mampu memutuskan bagaimana tindakan tersebut selanjutnya. Self efficacy
bukan merupakan suatu perkiraan yang kaku mengenai kemampuan berperan sebagai
faktor penting dan bagaimana remaja tersebut berperilaku serta cara berpikir
dalam sesuatu tersebut, melainkan mampu menghubungkan bagaimana cara berpikir
dan berperilaku tersebut dapat diterima oleh masyarakat serta lingkungan yang
ada, maka dari itu dibutuhkan adanya kematangan emosi. Dengan kematangan emosi
remaja akan mampu mengendalikan ekspresi emosi yang nampak serta berusaha mengalihkan
energi yang ditimbulkan oleh tubuh mereka menjadi persiapan untuk bertindak
kearah perilaku yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial.
f.
Kematangan Diri
secara Kinerja (Amaliyah)
Yusuf Qardhawi: “Pertama ada ilmu
lalu iman. Ilmu menghasilkan iman. Iman menghasilkan kekhusyukan. Inilah yang
menggerakkan hati untuk beramal.”
Boyatzis merumuskan sebuah teori
tentang proses pembelajaran mandiri. Ia membagi perjalanan diri seseorang dalam
lima tahapan. Pertama, “My Ideal Self” (menjawab pertanyaan: mau menjadi
apa saya?). Kemudian, “My Real Self” (siapa saya? apa kekuatan dan
kekurangan yang harus dilengkapi?), “My learning agenda” (bagaimana saya
membangun kekuatan dan menekan kekurangan itu?), “My experiment”
(bagaimana mempraktekkan perilaku, pemikiran, dan perasaan baru), dan “My
development” (bagaimana membangun hubungan yang penuh kepercayaan dan
dukungan untuk memungkinkan perubahan dalam diri?).
Kini saat tepat bagi segenap tokoh
di negeri ini untuk merenungkan: seberapa jauh perjalanan kepemimpinan yang
telah mereka tempuh? Rakyat juga perlu introspeksi: apakah perjalanan itu telah
sesuai dengan cita-cita nasional kita? Pemimpin yang matang akan melahirkan
bangsa yang dewasa. Pemimpin yang kekanak-kanakan akan menciptakan bangsa yang
cengeng. [spt]
g.
Kematangan Diri
secara Finansial (Ma’siyah)
Artinya
perkawinan juga kerja ekonomi, bukan sekedar kerja cinta.
“Seorang wanita juga perlu mempertanyakan kepada calon
suaminya tentang masalah finansial. Tidak berarti bahwa wanita itu materialistis.
Tidak demikian. Seorang wanita perlu yakin bahwa suami yang mampu mengatakan I
Love You 1000x sehari juga bisa memberikan susu bagi anak-anaknya. Paling
bagus, beri susu buat anak-anak, nafkah buat istri, lalu katakan I Love You.
Anda bisa memberikan susu, tapi tidak mengatakan I Love You, itu juga salah.
Dua-duanya perlu.”
“Kita harus melihat sesuatu dengan rasional. Unsur
Romantika sangat penting ada karena akan membuat hidup jadi indah. Romantika
yang bagus dibangun di atas Realisme. Realisme tapi juga Romantis. Realistis
tapi tidak Romantis, jadi kaku.”
h.
Kematangan Diri secara Orientasi
(Ma’rifah)
Mempunyai dasar-dasar pemikiran yang jelas tentang
identitas ideologinya.
Artinya, mengetahui MENGAPA ia menjadi muslim.
Artinya, mengetahui MENGAPA ia menjadi muslim.
“Di dalam hidup ini, kita akan sesekali menghadapi
banyak alternatif. Saat itu, kita akan banyak menghadapi masalah yang
pemecahannya sangat ditentukan oleh kematangan pengetahuan tentang MENGAPA kita
menjadi muslim, sehingga kita mampu dihadapkan pada berbagai pilihan dalam kehidupan
riil.”
5. TANDA-TANDA KEMATANGAN DIRI
Kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta
kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini,
tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan
seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan
berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung
jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini.
Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga.
Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin
kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan
bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah
dewasa memandanng kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai
tantangan-tantangan.
Menurut kamus Webster, Kematangan atau kedewasaan adalah suatu keadaan maju
bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi
"ke" melainkan "ke arah". Ini berarti kita takkan pernah
sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu.
Pergerakan maju ini unik bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan
suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan
"menjadi" atau state of becoming.
Sebagai contoh seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam
pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada
seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek
kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Mereka dapat menangani banyak
problem secara lebih dewasa.
Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai kematangan seseorang.
Namun, kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan itu di dalam dirinya sendiri,
dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Maka, orang yang dewasa/matang adalah:
a.
Dia menerima dirinya sendiri.
Mampu melihat dan menilai dirinya
secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang
mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat
menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi
yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya
tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan
lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak
berkepentingan untuk menandingi orang lain, melainkan berusaha mengembangkan
dirinya sendiri.
Dr. Abraham Maslow berkata,
"Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat
diusahakannya". Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.
b.
Dia menghargai orang lain.
Dikatakan
dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang
lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang
matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang
itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan untuk
menghentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang
lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk
memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.
c.
Dia menerima tanggung jawab.
Orang yang
tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat
bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah
dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan
situasi dimana ia berbuat dan berada.
Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu
bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan
menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan.
Mempercayakan nasib baik pada atasan
untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman
dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas
kehidupan sendiri.
d.
Dia percaya pada diri sendiri.
Seseorang
yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain karena percaya
pada dirinya sendiri. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran
tanggung jawabnya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit
bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing,
atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang
dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi
orang lain.
e.
Dia sabar.
Seseorang
yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan
memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan
begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam
mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah.
Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai
lebih dari satu rencana penyelesaian.
f.
Dia mempunyai rasa humor.
Orang yang
dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan
atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika
humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan
bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran
yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain.
Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan
pemukul orang lain.
C.
PEMECAHAN
MASALAH
Mendefinisikan ‘maturitas’ alias ‘kematangan’, mendeskripsikan lima
persyaratan kematangan pribadi yaitu: berpikir obyektif, berpikir
positif, mampu mengendalikan dan menyalurkan emosi, bertanggung jawab, serta
mampu membina hubungan interpersonal yang harmonis dan konsisten dalam waktu
yang relatif panjang.
Karena ketidakmatangan sering terlihat pada ketidakberanian dalam mengambil
keputusan, memaksakan pendapat, meng-“abuse” kekuasaan, serta
ketidakmampuan menbina hubungan antar manusia secara fair dan
bertanggung jawab.
Dari kenyataan ini, kita bisa belajar bahwa pada dasarnya pendidikan dan
kepintaran tidak selamanya berkorelasi dengan kematangan pribadi, terutama
kalau individu mengembangkan fungsi-fungsi di dalam dirinya secara berat
sebelah, misalnya saja banyak berpikir tanpa mengembangkan kepribadian dalam
kehidupan sehari-hari di organisasi.
1.
Kematangan Bisa Terkikis dan Menular
Bagi kebanyakan orang, kematangan ditandai dengan kedewasaan yang
diindikasikan dengan keberanian memasuki jenjang perkawinan, punya penghasilan
sendiri serta lepas dari bimbingan orang tua. Namun, terutama dalam situasi
menekan, kritis dan berisiko, kita sendiri kemudian dapat menyadari ataupun
menyaksikan bahwa respons individu sering menunjukkan ketidakdewasaan. Tidak
bijaksananya individu disebabkan karena ia belum mencapai tingkat kematangan
yang diharapkan baik oleh lingkungan maupun oleh dirinya sendiri.
Kematangan tidak diturunkan, bukan bawaan sejak lahir, tetapi benar-benar
dipelajari dan dilatih. Selain itu
kematangan atau ketidakmatangan juga bisa terkikis dan menular. Bayangkan
betapa menyedihkannya bila menyaksikan seorang yang sudah berangkat matang,
kemudian merosot karena berada di lingkungan yang bobrok.
Kematangan atau ketidakmatangan
bisa merupakan ciri sekelompok orang, misalnya kelompok orang yang terlalu
fanatik sehingga mempunyai keyakinan-keyakinan yang tidak obyektif lagi ataupun
kelompok orang yang mempunyai norma yang jelas-jelas sudah tidak diterima
masyarakat tetapi tetap membenarkannya. Bahkan bangsa tertentu juga bisa secara
tidak matang menentukan arah politiknya, sehingga mengakibatkan penderitaan
jutaan orang.
2.
Pertajam
Kesadaran
Kemampuan untuk menyadari
kekurangan dan mempunyai hasrat untuk mengembangkan diri. Yakni memelihara
sikap kebal dan pengecutnya, bahkan mengembangkan imaturitasnya sampai tua.
Tumpulnya kesadaran yang dipelihara sering menyebabkan ketidakmampuan individu
untuk berdialog dengan hati nurani atau katahatinya, sehingga ia kehilangan
kacamata obyektif dan positifnya dan memang ”dibutakan” dari realitas.
3.
Perkuat Sifat
Ksatria
Berbeda dengan prestasi, individu memang tidak bisa ”pamer kematangan”
dengan mudah, tetapi harus membuktikannya dengan tindakan yang teruji. Sikap
obyektif, positif, bertanggungjawab dan matang emosi hanya bisa ditakar dalam
hati. Bila seorang ingin bersikap bijaksana, adil dan ”fair”, maka ia perlu
menyelesaikan pergulatan dan konflik internalnya di dalam hati.
D.
KESIMPULAN DAN
SARAN
1.
KESIMPULAN
Kemampuan
membangun komitmen/visi dan misi rumah tangga, memahami karakter keluarga
pasangan, memahami kebiasaan dan sifat masing-masing pasangan merupakan syarat
utama seseorang layak atau tidaknya untuk menikah. Sebetulnya kematangan atau
kesiapan seseorang bisa dilatih sejak dini, melatih tanggungjawab bisa dimulai
ketika anak sudah akil balig. Anak bisa dilatih peran-peran seseorang dalam
berumahtangga. Intinya memainkan peran sebagai pasangan yang siap menyatukan
kepribadian yang berbeda dan peran sebagai orangtua serta tanggungjawabnya di
masyarakat.
Menciptakan keluarga yang harmonis, bahagia dunia dan akhirat adalah tujuan
dari pernikahan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sukses merupakan suatu
hubungan yang dinamis, di mana kepribadian dari kedua pasangan berkembang
secara terus menerus sehingga dalam hubungan tersebut tercapai kepuasan pribadi
pada taraf yang tinggi.
Suami istri yang memiliki pribadi matang menyebabkan masing-masing pasangan
dapat menerima dan memahami pasangan, dapat menumbuhkan hubungan sosial yang
baik, menciptakan pengertian dan kepuasan dalam pernikahan.
2.
SARAN DAN
REKOMENDASI
”Menjadi Tua
itu Pasti, namun menjadi dewasa itu adalah Pilihan”
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
pramudya, S., Menumbuhkan Kematangan Berpikir, EDSA Mahkota, Jakarta,
Mei 2006
Bahaudin
Mu’dhary,KH, Daya Nalar Budi (Sebuah Ikhtiar Merengkuh Kekuatan Intuisi
Spiritual), Pustaka Progressif, Surabaya, Cetakan I, Desember 2003.
Jen Z.A.Hans,
Strategi Pengembangan Diri Untuk Kesuksesan Fisik, Intelektual, Emosi,
Sosial, Finansial dan Spiritual,
Personal Development Training, Jakarta Selatan, Cetakan II, Maret 2006
Jimmy
Teo, Mutiara Kehidupan (A Legacy to My Sons) Percikan Pemikiran Bijak,
pustaka Populer Obor, Cetakan I, April 2006.
Mangunhardjana,
S.J,A.M, Mengatasi Hambatan-hambatan Kepribadian, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, Cetakan 12, 1994
Muhammad
M Dlori, Dicintai Suami (Istri) sampai Mati, Penerbit Kata Hati , Ar
Ruzz media , Yogayakarta, 2005.
Robbert
W Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1994
Rochelle
Semmel Albin, Emosi (Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya), Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1986.
Syamsu
Yusuf,Dr.H,,LN.M.Pd, Mental Higiene (Perkembangan Kesehatan Mental dalam
Kajian Psikologi dan Agama),
Penerbit Bani Quraish, Bandung, Cetakan I, April 2004.
Wisnobroto
Widarso, Berpikir dan Bertindak Positif (1 Kiat Untuk Meraih sukses),
Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cetakan 5, 2002.
By : Nurhajs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar