animasi kursor

SELAMAT DATANG DI BERANDA KAMI


Kehidupan, kadang membuat kita tersenyum bahagia, namun tidak jarang membuat kita bermuram durja. Janganlah gundah karena semua itu hanyalah sebuah perjalanan menuju kehidupan abadi. Mari kita berbagi inspirasi, untuk menggapai kehidupan abadi yang bahagia, selamanya.

Kamis, 28 November 2013

Kepuasan pernikahan Ditinjau dari kematangan pribadi



KEPUASAN PERNIKAHAN  DITINJAU DARI
KEMATANGAN PRIBADI


A.    PENDAHULUAN
1.      PERMASALAHAN
Manusia senantiasa hidup berkembang sesuai dengan pengalaman yang diperoleh melalui proses belajar dalam hidupnya. Manusia tercipta sebagai makhluk individu dan makhluk social. Sebagai makhluk social senantiasa membutuhkan oranglain, selalu berinteraksi saling bersosialisasi maupun bertukar pengalaman serta untuk meneruskan keturunan. Meneruskan keturunan dapat ditempuh melalui proses pernikahan yang kemudian terbentuklah sebuah keluarga. Pada dasarnya manusia terpanggil untuk hidup berpasang-pasangan. Manusia dapat menemukan makna hidupnya dalam pernikahan. Sebagian orang menganggap bahwa pernikahan membatasi kebebasannya, tetapi bagaimanapun juga sebagian besar dari masyarakat mengakui bahwa pernikahan memberikan jaminan ketentraman hidup.
Kepuasan pernikahan seseorang ditentukan oleh tingkat terpenuhinya kebutuhan, harapan dan keinginannya. Persepsi individu menjadi dasar penilaian terhadap kepuasan pernikahannya. Idealnya suatu pernikahan adalah apabila antara pasangan suami istri memiliki kematangan baik secara biologis maupun psikologis. Kematangan biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia maupun fisik/jasmani. Sedangkan kematangan psikologis adalah apabila seseorang dapat mengendalikan emosinya dan dapat berfikir dengan baik.
Kematangan pribadi sangat besar artinya bagi pasangan yang berumahtangga. Suami istri yang belum matang dari segi pribadi di dalam membina pernikahan akan sering terjadi pertengkaran, percekcokan bahkan kalau dibiarkan terus menerus akan menjurus ke perceraian. Kematangan pribadi dapat dilihat pada kemampuan penyesuaian diri dan perilaku yang positif dalam mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik. Kemampuan ini selain dapat menjaga keseimbangan juga akan mendatangkan rasa puas dan bahagia baik bagi individu maupun oranglain.


B.     PEMBAHASAN

1.      KEMATANGAN DIRI
Kematangan pribadi menurut Matindas mempunyai cirri-ciri sebagai berikut: keutuhan identitas, keterbukaan, daya kritis, keluasan minat, kehangatan, dan kepedulian sosial. Terdapat hubungan antara unsur penjabaran tiap dimensi itu. Responden yang mempunyai nilai kematangan tinggi, umpamanya, menunjukkan sikap yang terbuka, sekaligus memiliki sifat kritis, juga bermoral teguh, bisa menerima diri, dan produktif.
Melihat ada kesamaan ciri ini, Matindas membagi nilai kematangan ini bermuara pada tiga kategori:
a.       Kearifan
Orang arif adalah orang yang selalu menguji informasi, tidak mendambakan hal-hal di luar batas kemampuan, tidak banyak mengeluhkan situasi, dan menghargai kejujuran. ''Artinya, orang yang bila membuat keputusan bukan hanya berdasar pertimbangan kebenaran logika, tapi juga moral,''.
b.      Keluwesan
Tingkah laku luwes, artinya ramah, bisa menerima keterbatasan orang lain, menahan diri untuk menjaga perasaan orang.
c.       Kemandirian
Kemandirian yaitu tingkah laku yang antara lain menunjukkan rasa percaya diri, berani membuat keputusan tanpa dukungan orang banyak, keberanian mengkritik, dan tidak mengalah terhadap keinginan mayoritas.
Nilai yang patut dikembangkan itu adalah keluasan minat (antara lain mempelajari hal baru), terbuka (umpamanya menenggang perbedaan pendapat), pengendalian diri, kehangatan (misalnya tidak mudah tersinggung), dan penerimaan diri (antara lain bisa menertawakan diri sendiri).
Taraf kematangan pribadi berkembang dengan bertambahnya umur dan dari hasil belajar pada lingkungan. Dan proses perkembangannya bisa tersandung seandainya orang mengalami krisis dalam pemuasan kebutuhannya.
2.      KEMATANGAN KEPRIBADIAN
Menurut Gordon W.Allport. Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari system psiko-fisik indvidu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran indvidu secara khas.
Maksud dinamis pada pengertian tersebut adalah perilaku mungkin saja berubah-ubah melalui proses pembelajaran atau melalui pengalaman-pengalaman, reward, punishment, pendidikan dsb.
Kepribadian adalah semua corak perilaku dan kebiasaan individu yang terhimpun dalam dirinya dan digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsangan baik dari luar maupun dari dalam.
Perkembangan kepribadian tersebut bersifat dinamis, artinya selama individu masih bertambah pengetahuannya dan mau belajar serta menambah pengalaman dan keterampilan, mereka akan semakin matang dan mantap kepribadiannya.
Dalam bahasa latin asal kata personaliti dari persona (topeng), sedangkan dalam ilmu psikologi menurut, Gordon W.Allport : suatu organisasi yang dinamis dari system psiko-fisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Interaksi psiko-fisik mengarahkan tingkah laku manusia.
Kepribadian adalah ciri, karakteristik, gaya atau sifat-sifat yang memang khas dikaitkan dengan diri kita. Dapat dikatakan bahwa kepribadian itu bersumber dari bentukan bentukan yang kita terima dari lingkungan, misalnya bentukan dari keluarga pada masa kecil kita dan juga bawaan-bawaan yang dibawa sejak lahir.
Jadi yang disebut kepribadian itu sebetulnya adalah campuran dari hal-hal yang bersifat psikologis, kejiwaan dan juga yang bersifat fisik.
Pengertian di atas merujuk pada ciri-ciri perilaku yang kompleks terdiri dari temperamen (reaksi emosi yang cenderung menetap dalam merespon situasi atau stimulus lingkungan secara spontan), emosi yang bersipat unik dari individu. Reaksi yang berbeda dari masing-masing individu menunjukkan perbedaan kepribadian.
Kebiasaan dalam memanfaatkan waktu setiap hari tersebut merupakan hasil interaksi antara genetik, kondisi otak, persyarafan dan faktor psikologis.
3.      KEPRIBADIAN ISLAM
Kepribadian dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah, berasal dari kata syakhshun, artinya, orang atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga diartikan identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh). Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam As Syakhshiyyah Al Islamiyyah jilid I halaman 5, menyatakan bahwa kepribadian atau syakhshiyyah seseorang dibentuk oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah).
Tinggi rendah identitas atau jati diri seseorang tergantung dari kemampuan berpikirnya dan tingkah laku atau aktivitas hidupnya. Secara nyata bisa kita amati di sekeliling kita. Dalam suatu lingkungan masyarakat, bangsa atau negara muncul orang-orang tertentu yang menjadi pemimpin dan penggerak massa. Mereka mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dalam bidang pemikiran dan pemecahan problema masyarakat.
Kita jumpai pula di masyarakat adanya orang-orang yang hanya menjadi beban, bahkan menjadi sampah masyarakat. Mereka tidak mampu memecahkan masalah mereka sendiri, apalagi memecahkan masalah masyarakat. Di antara dua contoh ekstrim di atas; ada orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, tetapi tidak mampu atau tidak mau memecahkan problema orang lain. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menggeluti kesenangannya sendiri. Orang-orang demikian tidak banyak berpikir dan bekerja kecuali untuk dirinya. Hati mereka terpisah dari masyarakat.
Posisi seseorang di suatu masyarakat tergantung dari seberapa tinggi kualitas hubungan (nilai interaksi) dirinya dengan anggota masyarakat yang lain. Kualitas hubungan itu berupa nilai aktivitas (amal) yang terjadi yang melibatkan dirinya dengan orang-orang lain.
Oleh karena itu, terbentuknya tingkat kepribadian seseorang di dalam masyarakat berkaitan dengan nilai aktivitas yang dia lakukan dalam berinteraksi dengan pribadi-pribadi anggota masyarakat yang lain. Pembentuk kepribadian dan ukuran-ukuran penilaian suatu kepribadian bukanlah harta seseorang, bentuk rupanya, badannya atau hal-hal fisik lain yang hanya merupakan asesori atau menjadi kulit-kulit luar suatu kepribadian, melainkan isi dalam diri seseorang, yakni cara berpikirnya dan sikap jiwanya.
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa syakhshiyyah Islamiyyah atau kepribadian Islam adalah perpaduan antara cara berfikir Islami (aqliyyah Islamiyyah) dan sikap jiwa Islami (nafsiyyah Islamiyyah) yang terdapat dalam diri seorang muslim. Seorang muslim bisa dikatakan memiliki cara berfikir yang Islami (aqliyyah Islamiyyah) manakala ia sudah bertekad untuk memikirkan segala sesuatu dan setiap problema yang dihadapinya dengan cara pandang dan cara-cara pemecahan Islam. Ia hanya bertekad hanya akan menggunakan kaca mata Islam.
Seorang muslim bisa dikatakan memiliki sikap jiwa Islami (nafsiyyah Islamiyyah) manakala dia telah bertekad untuk membimbing dan memenuhi segala keinginan hawa nafsunya dengan cara-cara pemuasan Islam. Rasulullah saw. bersabda:
"Tidaklah beriman salah seorang di anatara kalian hngga ia membimbing hawa nafsunya selalu mengikuti apa (Islam) yang kubawa ini" (HR. Imam Nawawi).
Dengan demikian seorang muslim baru dikatakan memiliki kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) manakala ia telah bertekad dalam hatinya untuk selalu memiliki aqliyyah Islamiyyah dan nafsiyyah Islamiyyah. Seorang muslim tidak mungkin bertekad seperti itu manakala belum memahami dan memiliki aqidah Islamiyyah secara benar. Aqidah Islamiyyah yang tidak lain adalah keimanan kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, Al Qur'an dan kitab-kitab-Nya yang lain, Nabi Muhammad Saw. dan para Rasul-Nya yang lain, hari kiamat, dan qadla-qadar-Nya adalah pemikiran yang paling mendasar yang akan menjadi standar bagi seluruh pemikiran-pemikiran lain yang diproses oleh akal seorang muslim.
Oleh karena itu, memperoleh aqidah Islamiyyah ini harus melalui proses berfikir. Imam As Syafi'i r.a. dalam Fiqhul Akbar mengatakan bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berfikir tentang dirinya dan alam semesta ini hingga mendapatkan kesimpulan bahwa Allah adalah Rabbul'alamin (Pencipta dan Pemelihara sekalian alam).
Pencapaian aqidah melalui proses berfikir, meneliti, dan mengamati adalah aqidah yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal seorang muslim. Aqidah yang diperoleh melalui warisan semata atau sekedar hafalan rukun iman seperti yang diajarkan kepada murid sekolah dasar tidak akan menghunjam kuat pada hati seseorang, tidak menjadi mafahim atau pandangan hidup baginya, dan tidak menentukan pola berpikir maupun pola sikap dan jiwanya. Oleh karena itu, jika ingin menghasilkan kepribadian Islam yang unggul maka harus diintroduksikan kepada kaum muslimin aqidah Islam yang diperoleh melalui proses berfikir ini sehingga akan terbentuk pribadi-pribadi yang memiliki kemajuan dan kebangkitan dalam cara berpikir dan dalam pengendalian diri.
Program kematangan kepribadian  di antaranya : Mengontrol diri sendiri baik segala kelebihan maupun kekurangan; Sopan Santundalam berbicara dan bertingkah laku; Hidup sehat; Qanaah/menerima apa adanya; Mengontrol emosi dan bersabar di saat mendapat kekecewaan; Makan teratur; Dapat menyesuaikan diri di linhkungan keluarga dan masyarakat; Berpakaian rapi; Menerima emosi manusia; Disiplin terhadap diri sendiri; Mengorbankan kepentingan pribadi semi kepentingan bersama; Selalu berfikiran positif; Bersifat hangat terhadap orang lain; Berhati-hati dalam mengerjakan tugas; 3.   Peduli terhadap lingkungan sekitar ;  Menjaga kebersihan; Terampil dalam mengerjakan tugas.

4. MACAM-MACAM KEMATANGAN DIRI
Dalam perjalanan kehidupan seseorang bisa mempunyai 8 kematangan pribadi yakni:
a.      Kematangan Diri secara emosional (Ahklaq)
Mendewasakan emosional sebelum memasuki dunia nyata sangatlah penting bagi kita semua terlebih-lebih yang hendak menjalin hubungan antar sesama, seperti halnya “Kematangan Diri Secara Sosial” secara emosional juga sangatlah penting.
Jika kita sudah bisa mandiri secara emosional yang berakar dari berbagai emosi , harus bisa melepaskan ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua dan kerabat dekat lainnya.
Sebagai contoh dalam sebuah rumah tangga, pernah menjumpai (melihat dan mendengar) sebuah rumah tangga dimana antara suami dan istri belum terikat kuat secara emosional.
Sang istri lebih kuat ikatan emosionalnya kepada orang tua daripada kepada suaminya. Setiap datang permasalahan ia langsung lari kepada kedua orang tuanya, tanpa berusaha terlebih dahulu menyelesaikannya bersama dengan suami. Dia lebih mengutamakan taat kepada orang tuanya daripada suaminya, tentu hal ini tidak baik bukan? Karena ketaatan yang lebih utama bagi seorang wanita yang punya suami setelah taat kepada Tuhannya adalah taat kepada suaminya.
”Aisyah Ra. berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah Saw “Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap seorang perempuan? Sabdanya : Suaminya!” Lalu saya bertanya: “Siapakah orang yang paling besar haknya atas diri seorang laki-laki?” Sabdanya: “Ibunya!” (HR. al-Bazaar dan disahkan oleh al-Hakim).
Dan begitu pula tidak jarang sang suami justru yang masih kolokan (manja dan kekanak-kanakan). Dirinya sering meminta tolong orang tuanya untuk meminta tanggung jawab istrinya selama mendampinginya. Suami yang memiliki karakter seperti ini tentu kurang dapat bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya, padahal ia adalah seorang kepala keluarga. Rumah tangga yang seperti ini tentulah kurang baik dan kurang bisa mandiri, karena masih memerlukan penggembalaan orang tua. Oleh karena itu, seorang suami dituntut untuk bisa dewasa secara emosional selaku seorang kepala keluarga, sehingga bisa bersikap baik terhadap keluarga yang dibinanya. Itulah yang dianjurkan Rasulullah Saw.
Demikianlah kurang lebihnya akan perlunya memiliki kematangan emosional, yaitu melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang yang selama ini dominan terhadap dirinya, seperti orang tua dan lain-lain. Tujuannya adalah agar lebih mesra menjalin hubungan dengan orang yang menjadi pasangan hidupnya, sehingga bisa melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dirinya.

b.      Kematangan Diri secara Sosial (Ukhuwah)
Kematangan sosial seseorang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kemampuan dirinya untuk beradaptasi dan menjalin hubungan yang sehat dan memuaskan dengan orang lain. Dan seseorang dikatakan matang secara sosialnya, apabila ia mampu memahami kondisi orang lain baik kekurangan maupun kelebihan yang dimilikinya. Selain itu dirinya juga harus bisa menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri. Dan apabila seseorang memiliki kemampuan seperti itu, tentu akan memudahkan dirinya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan pihak lain.
Kematangan sosial merupakan hal yang sangat penting apabila hendak membina hubungan persahabatan, kekerabatan dan tentu saja hubungan rumah tangga, karena sebelumnya satu dengan yang lainnya adalah orang asing yang berbeda karakter dan latar belakangnya serta masing-masing pihak pasti memiliki kekurangan maupun kelebihan.
Dengan demikian seseorang yang memiliki kematangan sosial, Insya Allah akan lebih bisa memahami kekurangan serta menerima kelebihan orang lain dalam hubungannya tsb. Selain itu dengan kematangan sosial ini pula, diharapkan menjadi lebih sadar bahwa kekurangan orang lain adalah ladang beramal shaleh yang diberikan oleh Allah buat dirinya dengan menutupi kekurangan yang lainnya tersebut. Sementara kelebihan yang dimiliki pasangan hidupnya dapat mengingatkan dirinya kepada Allah karena telah diberi nikmat tersebut.
Hubungan yang baik hanya terjadi jika masing-masing pihak bisa menjaga hubungan tersebut diantara keduanya, dapat menepis sikap egois masing-masing pihak, demi kebaikan bersama. Apabila komunikasi memburuk, mungkin dalam hal ini menandakan hubungan tersebut belum memiliki kematangan sosial.
Dari hal itulah kita semua sangat dianjurkan untuk memperbanyak melakukan siturahim kepada sesama sebagai jalan untuk menguatkan tali ukuwah dan sebagai sarana untuk mendapatkan kematangan sosial. Dengan silaturahim akan menjadikan hati semakin dekat, sehingga ukuwah akan semakin kuat terjalin dan timbul rasa untuk saling memahami dan menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing.
c.       Kematangan Diri secara Spiritual (Aqidah)
Kematangan beragama adalah bersifat niscaya, tetapi yang menentukan karakter dan nilainya adalah kandungan atau landasan intelektual dari agama tersebut- bukan sebatas perasaan. Kematangan beragama telah mengindikasikan bahwa seseorang memiliki landasan teologis yang kuat, disertai dengan pengaplikasian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran sebuah agama. Dengan kata lain, kematangan beragama merupakan nilai-nilai spritual yang mencapai kedewasaan dalam mengimplementasikan substansi agama secara holistik, bukan parsial. Hal ini disadari, karena untuk mencapai kematangan beragama, niscaya kita dituntut agar memiliki kesadaran intelektual dan sipritual secara bertahap dalam rangka menuju spiritualitas yang tinggi. Kesadaran intelektual dan spiritual merupakan kunci utama kita dalam menelusuri jejak-jejak ma’rifat dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kematangan beragama tidak jauh beda dengan spirit keagamaan seseorang. Itulah sebabnya, kenapa pemahaman tentang hal itu cukup sulit dan membutuhkan keseriusan yang sangat tinggi. Pertama, proses perkembangan keagamaan seseorang tidak pernah selesai dan utuh. Dalam artian, selalu bersifat konstan sesuai dengan tingkat kematangan dan kedewasaan kita dalam menyelami religiusitas yang lebih menjanjikan. Itulah mengapa, kita harus terus berpacu dengan waktu untuk mendalami kandungan yang terdapat dalam ajaran agama, sehingga mencapai puncak spiritual (peak of spiritulity) yang membanggakan.
Kedua, kematangan beragama bukan berarti sama dengan kematangan fisik seseorang. Semua itu diperoleh melalui proses panjang yang sangat melelahkan dan membutuhkan kedewasaan, sehingga membentuk keyakinan yang kuat dalam mencapai kematangan. Ketiga, adaya ketergantungan pada satu konsep keagamaan, dan kematagan beragama boleh saja kita pahami dalam berbagai pandangan, karena masing-masing memiliki alasan yang benar dan bisa dipertanggung jawabkan.
Ada dua pandangan yang sangat relevan dengan pemahaman kematangan beragama.
Pertama, dari sudut pandangan individu
Memahami sebagai esensi yang paling tinggi dari perkembangan kedewasaan bergama, walaupun hal itu dalam aspek individu kurang berarti dan berbeda dari yang lain. Dengan kata lain, sudut pandang yang pertama adalah sangat signifikan bagi kematangan beragama.
Kedua, dari sudut pandang universal
Dimana kita dapat berpikir bahwa konsep ideal itu, menunjukkan bahwa perkembangan keagamaan dapat kita ukur dan dikomparasiakan dengan pandangan yang lain.
Pemahaman kematangan bergama selalui terkait dengan spirit keagamaan seseorang dalam mencapai pengalaman dan kesadaran beragama. Kematangan beragama bertujuan guna mencapai sebuah penilaian-spiritual dalam kaitannya dengan nilai total dan makna positif.
Kematangan beragama adalah dipertimbangkan oleh nilai kritik, kreativitas, otonomisasi. Dalam artian, kapasitas kedewasaan atau kematangan dapat kita identifikasi melalui refleksi dan kepercayaan diri yang bisa ditemukan dalam ekspresi kehidupan beragama kita.
Konsep Kematangan Beragama Menurut Allport
Menurutnya, kematangan beragama adalah sebuah karakter utama yang dilandasi oleh tiga faktor, yakni, kemampuan untuk memahami sifat kepribadian seseorang, melalui objektivikasi diri atau mampu memahami filsafat kehidupan.
Dalam konteks ini, konsep kematangan beragama menurut Allport adalah sebagai berikut:  
Pertama, sentimen kematangan beragama pertama kali adalah dibedakan hal-hal yang baik atau kritik terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, orang mulai sadar bahwa bertahan ketika agama dikritik.
Kedua, Allport menemukan bahwa kematangan beragama terkait dengan tekanan emosi yang sangat kuat. Konsep ini dikembangkan melalui ”functional autonomy” sebagai motivasi karakter.
Ketiga, kematangan beragama adalah konsistensi dari konskwensi moral. Dalam konteks ini, perkembangan logika dipengaruhi oleh motivasi agama yang memiliki kekuatan terhadap perilaku seseorang.
Keempat, yang berhubungan dengan konsistensi kematangan beragama adalah comprehensiveness sebagai filosofi kehidupan. Dalam konteks ini, Allport hendak mengatakan bahwa poin penting dari keyakinan yang komprehensif salah satu satunya adalah mengedepankan sikap toleransi.
Kelima, salah satu indikasi kematangan beragama dalam pandangan Allport adalah bersifat integral. Dalam artian, orang yang memiliki kematangan beragama pasti dalam hidupnya akan menemukan keharmonisan dan kedamaian sesuai dengan tujuan awalnya untuk dekat dengan Tuhan.
Keenam, terakhir Allport mengatakan bahwa kriteria kematangan beragama sangat ditentukan oleh sikap heuristic yang terdapat dalam pribadi manusia masing-masing.
Konsep Kematangan Beragama Menurut William James
Kematangan beragama dalam pandangan James, lebih menitikberatkan pada pengalaman keagamaan yang telah direngkuh seseorang dalam rangka mencari jati diri dan makna hidup yang sebenarnya. Dalam konteks ini, James membagi kriteria kematangan beragama dalam empat aspek yang merupakan kondisi terdalam dalam jiwa manusia.
Pertama, sensibilitas akan eksistensi kekuasaan Tuhan. Kekuasaan ini seringkali diidentifikasi sebagai manifestasi Tuhan, tetapi tidak jarang juga berkaitan dengan hal-hal yang mistis yang tidak bisa dipahami manusia.
Kedua, kesinambungan dengan Tuhan dan pasrah. Kesinambungan dipahami telah terjadi keselarasan yang pada gilirannya dapat mengontrol ego manusia, sehingga menciptakan keramahan dan persahabatan antar sesama.
Ketiga, perubahan emosi yang terdalam. Dalam konteks ini, kematangan dalam konsep James dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap stabilitas dan konsistensi emosi seseorang, sehingga perubahan emosi tersebut dapat terkontrol dengan sempurna dan tanpa mengedepankan egos yang berlebihan.
Keempat, perasaa bahagia, kasih sayang, dan keharmonisan akan tumbuh berkembang, jika seseorang sudah matang dalam melaksanakan agamanya. Tak heran, kalau kematangan beragama seringkali dipahami sebagai bagian dari kedamaian hati yang terdalam, sehingga bisa menciptakan keselarasan dalam hidup.
Konsep Kematangan Beragama Menurut Wiemans
Wieman membagi norma atau standar kematangan beragama sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Pertama, tujuan hidup layak ditinjau dari segi kemanusiaan. Kedua, loyalitas yang sempurna. Ketiga, efisiensi dalam mencapai tujuan. Keempat, sensitfitas dalam memandang nilai. Kelima, loyalitas yang terus tumbuh. Keenam, loyalitas sosial.
Konsep Kematangan Beragama Menurut Eric Fromm
Fromm membandingkannya dalam dua konteks. Pertama, keagamaan otoriter, yang dipahami sebagai sebuah ajaran yang datang dari luar dan bersifat otoriter atau mengekang terhadap pribadi seseorang. Kedua, keagamaan humanis. Konsep ini dipahami sebagai bentuk kerinduan akan nilai agama dalam pribadinya, sehingga bersifat humanis.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kematangan beragama merupakan pengalaman puncak dari spiritualitas yang terdapat dalam konsep keagamaan. Ketika orang mencapai kematangan beragama, maka ia akan menjadi manusia beragama yang taat dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan. Pikiran dan batin orang yang mencapai kematangan beragama biasanya jauh dari hal-hal yang kotor.
d.      Kematangan Diri secara Intelektual (Ilmiy)
Kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Banyak orang yang sangat brilian namun masih seperti kanak-kanak dalam hal penguasaan perasaannya, dalam keinginannya untuk memperoleh perhatian dan cinta dari setiap orang, dalam bagaimana caranya memperlakukan dirinya sendiri dan orang lain, dan dalam reaksinya terhadap emosi. Namun, ketinggian intelektual seseorang bukan halangan untuk mengembangkan kematangan emosi. Malah bukti-bukti menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Orang yang lebih cerdas cenderung mempunyai perkembangan emosi yang lebih baik dan superior, serta mempunyai kemampuan menyesuaikan diri atau kematangan sosial yang lebih baik.
Kematangan pribadi akan menghasilkan proses berpikir secara rasional dan bertindak secara terarah dan akhirnya meningkatkan kemampuan intelegensia. Faktor intelejensia (IQ) turut berperan  dalam logika dan kreativitas berfikir yang jernih dan murni dalam sebuah pengambilan keputusan. Kreativitas berfikir yang dikombinasi dengan kemurnian logika dan keberanian mengambil resiko.
e.       Kematangan Diri secara Fisik (Jasadiyah)
Tuntutan untuk menjadi berubah serta berkembang kearah kemandirian dan kematangan sangat dibutuhkan, karena pada masa remaja diperlukan penemuan identitas diri serta mampu mempersiapkan dirinya untuk masa depan dan mampu menjawab pertanyaan tentang dirinya.
Individu yang sering melakukan hubungan sosial dengan baik serta seringnya dapat memecahkan masalah yang dihadapi, dengan pengalamannya maka dia akan mudah memberikan keyakinan dalam dirinya kalau dia akan mampu melakukan tindakan untuk mencapai tujuan dengan berhasil. Dalam melakukan hubungan sosial tersebut dibutuhkan kematangan emosi agar dapat mengontrol emosi serta mengekspresikan emosi tersebut secara wajar tidak berlebihan, selain itu mampu merespon suatu masalah dengan dewasa yakni mampu memberikan solusi yang tepat dan dapat diterima oleh lingkungan.
Self efficacy merupakan persepsi individu tentang dirinya sendiri mengenai seberapa baik diri ini dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Agar persepsi tersebut dapat diyakini dan diterapkan dalam masyarakat maka dibutuhkan sekali adanya kematangan emosi, dengan kematangan emosi maka remaja akan menghubungkan persepsi tersebut dengan kemampuan untuk mengenali, menafsirkan dan bereaksi secara tepat terhadap situasi-situasi sosial dan juga cara-cara yang dapat diterima sosial dan pada saat yang sama tidak merugikan fisik dan psikis individu itu sendiri.
Self efficacy juga merupakan keyakinan seseorang atas kemampuan dirinya dalam mengorganisasikan dan melaksanakan serangkian tingkah laku guna mencapai tujuan. Dengan keyakinan tersebut remaja diharapkan mampu mewujudkan keyakinan yang ada menjadi suatu kenyataan keberhasilan yang dapat diterima masyarakat, dengan begitu maka keyakinan tersebut sangat dipengaruhi adanya kematangan emosi, karena dengan kematangan emosi remaja akan memiliki kontrol dukungan sosial yakni mampu mengendalikan ekspresi emosi disaat dia mengalami ketidak sesuaian sosial dengan menyalurkan emosinya secara fisik dan mental dengan cara yang lebih diterima orang lain, selain itu dengan kematangan emosi remaja akan mampu mengenali dirinya sendiri dalam artian dapat mengetahui sejauh mana diri ini dapat mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan mengarahkan pada harapan yang sesuai dengan masyarakat, dengan kematangan emosi pula remaja akan mampu berpikir kritis dalam artian mampu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional dan mampu memutuskan bagaimana tindakan tersebut selanjutnya. Self efficacy bukan merupakan suatu perkiraan yang kaku mengenai kemampuan berperan sebagai faktor penting dan bagaimana remaja tersebut berperilaku serta cara berpikir dalam sesuatu tersebut, melainkan mampu menghubungkan bagaimana cara berpikir dan berperilaku tersebut dapat diterima oleh masyarakat serta lingkungan yang ada, maka dari itu dibutuhkan adanya kematangan emosi. Dengan kematangan emosi remaja akan mampu mengendalikan ekspresi emosi yang nampak serta berusaha mengalihkan energi yang ditimbulkan oleh tubuh mereka menjadi persiapan untuk bertindak kearah perilaku yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial.

f.       Kematangan Diri secara Kinerja (Amaliyah)
Yusuf Qardhawi: “Pertama ada ilmu lalu iman. Ilmu menghasilkan iman. Iman menghasilkan kekhusyukan. Inilah yang menggerakkan hati untuk beramal.”
Boyatzis merumuskan sebuah teori tentang proses pembelajaran mandiri. Ia membagi perjalanan diri seseorang dalam lima tahapan. Pertama, “My Ideal Self” (menjawab pertanyaan: mau menjadi apa saya?). Kemudian, “My Real Self” (siapa saya? apa kekuatan dan kekurangan yang harus dilengkapi?), “My learning agenda” (bagaimana saya membangun kekuatan dan menekan kekurangan itu?), “My experiment” (bagaimana mempraktekkan perilaku, pemikiran, dan perasaan baru), dan “My development” (bagaimana membangun hubungan yang penuh kepercayaan dan dukungan untuk memungkinkan perubahan dalam diri?).
Kini saat tepat bagi segenap tokoh di negeri ini untuk merenungkan: seberapa jauh perjalanan kepemimpinan yang telah mereka tempuh? Rakyat juga perlu introspeksi: apakah perjalanan itu telah sesuai dengan cita-cita nasional kita? Pemimpin yang matang akan melahirkan bangsa yang dewasa. Pemimpin yang kekanak-kanakan akan menciptakan bangsa yang cengeng. [spt]


g.      Kematangan Diri secara Finansial (Ma’siyah)
Artinya perkawinan juga kerja ekonomi, bukan sekedar kerja cinta.
“Seorang wanita juga perlu mempertanyakan kepada calon suaminya tentang masalah finansial. Tidak berarti bahwa wanita itu materialistis. Tidak demikian. Seorang wanita perlu yakin bahwa suami yang mampu mengatakan I Love You 1000x sehari juga bisa memberikan susu bagi anak-anaknya. Paling bagus, beri susu buat anak-anak, nafkah buat istri, lalu katakan I Love You. Anda bisa memberikan susu, tapi tidak mengatakan I Love You, itu juga salah. Dua-duanya perlu.”
“Kita harus melihat sesuatu dengan rasional. Unsur Romantika sangat penting ada karena akan membuat hidup jadi indah. Romantika yang bagus dibangun di atas Realisme. Realisme tapi juga Romantis. Realistis tapi tidak Romantis, jadi kaku.”
h.      Kematangan Diri secara Orientasi (Ma’rifah)

Mempunyai dasar-dasar pemikiran yang jelas tentang identitas ideologinya.
Artinya, mengetahui MENGAPA ia menjadi muslim.
“Di dalam hidup ini, kita akan sesekali menghadapi banyak alternatif. Saat itu, kita akan banyak menghadapi masalah yang pemecahannya sangat ditentukan oleh kematangan pengetahuan tentang MENGAPA kita menjadi muslim, sehingga kita mampu dihadapkan pada berbagai pilihan dalam kehidupan riil.”

5. TANDA-TANDA KEMATANGAN DIRI
Kesuksesan seseorang ditandai dengan berkembangnya prestasi serta kematangan emosinya. Meski tidak ada orang yang menyangkal pernyataan ini, tetapi sedikit orang yang mengetahui secara pasti tentang bagaimana penampilan seseorang yang dewasa atau matang itu, bagaimana cara berpakaian dan berdandannya, bagaimana caranya menghadapi tantangan, bagaimana tanggung jawabnya terhadap keluarga, dan bagaimana pandangan hidupnya tentang dunia ini. Yang jelas kematangan adalah sebuah modal yang sangat berharga.
Kedewasaan pun bukan berarti kebahagiaan. Kematangan emosi tidak menjamin kebebasan dari kesulitan dan kesusahan. Kematangan emosi ditandai dengan bagaimana konflik dipecahkan, bagaimana kesulitan ditangani. Orang yang sudah dewasa memandanng kesulitan-kesulitannya bukan sebagai malapetaka, tetapi sebagai tantangan-tantangan.
Menurut kamus Webster, Kematangan atau kedewasaan adalah suatu keadaan maju bergerak ke arah kesempurnaan. Definisi ini tidak menyebutkan preposisi "ke" melainkan "ke arah". Ini berarti kita takkan pernah sampai pada kesempurnaan, namun kita dapat bergerak maju ke arah itu. Pergerakan maju ini unik bagi setiap individu. Dengan demikian kematangan bukan suatu keadaan yang statis, tapi lebih merupakan suatu keadaan "menjadi" atau state of becoming.
Sebagai contoh seorang eksekutif bertindak sedemikian dewasa dalam pekerjaannya, namun sebagai suami dan ayah ia banyak berbuat salah. Tak ada seseorang yang sanggup bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan aspek kehidupan dengan kematangan penuh seratus persen. Mereka dapat menangani banyak problem secara lebih dewasa.
Berikut ini ada beberapa kualitas atau tanda mengenai kematangan seseorang. Namun, kewajiban setiap orang adalah menumbuhkan itu di dalam dirinya sendiri, dan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Maka, orang yang dewasa/matang adalah:
a.       Dia menerima dirinya sendiri.
Mampu melihat dan menilai dirinya secara obyektif dan realitis. Dengan demikian ia bisa memilih orang-orang yang mampu membantu mengkompensasi kelemahan dan kekurangannya. Ia pun dapat menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif, dan bebas dari frustasi-frustasi yang biasa timbul karena keinginan untuk mencapai sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dalam dirinya. Orang yang dewasa mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik, dan senantiasa berusaha untuk menjadi lebih baik. Ia tidak berkepentingan untuk menandingi orang lain, melainkan berusaha mengembangkan dirinya sendiri.
Dr. Abraham Maslow berkata, "Orang yang dewasa ingin menjadi yang terbaik sepanjang yang dapat diusahakannya". Dalam hal ini dia tidak merasa mempunyai pesaing-pesaing.
b.      Dia menghargai orang lain.
Dikatakan dewasa jika mampu menghargai perbedaan itu, dan tidak mencoba membentuk orang lain berdasarkan citra dirinya sendiri. Ini bukan berarti bahwa orang yang matang itu berhati lemah, karena jika kelemahan-kelemahan yang ada dalam diri seseorang itu sudah sedemikian mengganggu tujuan secara keseluruhan, ia tak segan untuk menghentikannya. Ukuran yang paling tepat dan adil dalam hubungan dengan orang lain bahwa kita menghormati orang lain, adalah ketiadaan keinginan untuk memperalat atau memanipulasi orang lain tersebut.
c.       Dia menerima tanggung jawab.
Orang yang tidak dewasa akan menyesali nasib buruk mereka. Bahkan, mereka berpendapat bahwa nasib buruk itu disebabkan oleh orang lain. Sedangkan orang yang sudah dewasa malah mengenal dan menerima tanggung jawab dan pembatasan-pembatasan situasi dimana ia berbuat dan berada.
Tanggung jawab adalah perasaan bahwa seseorang itu secara individu bertanggung jawab atas semua kegiatan, atau suatu dorongan untuk berbuat dan menyelesaikan apa yang harus dan patut diperbuat dan diselesaikan.
 Mempercayakan nasib baik pada atasan untuk memecahkan persoalan diri sendiri adalah tanda ketidakdewasaan. Rasa aman dan bahagia dicapai dengan mempunyai kepercayaan dalam tanggung jawab atas kehidupan sendiri.
d.      Dia percaya pada diri sendiri.
Seseorang yang matang menyambut dengan baik partisipasi dari orang lain karena percaya pada dirinya sendiri. Ia memperoleh perasaan bangga, bersama dengan kesadaran tanggung jawabnya. Sedangkan orang yang tidak dewasa justru akan merasa sakit bila ia dipindahkan dari peranan memberi perintah kepada peranan pembimbing, atau bila ia harus memberi tempat bagi bawahannya untuk tumbuh. Seseorang yang dewasa belajar memperoleh suatu perasaan kepuasaan untuk mengembangkan potensi orang lain.
e.       Dia sabar.
Seseorang yang dewasa belajar untuk menerima kenyataan, bahwa untuk beberapa persoalan memang tidak ada penyelesaian dan pemecahan yang mudah. Dia tidak akan menelan begitu saja saran yang pertama. Dia menghargai fakta-fakta dan sabar dalam mengumpulkan informasi sebelum memberikan saran bagi suatu pemecahan masalah. Bukan saja dia sabar, tetapi juga mengetahui bahwa adalah lebih baik mempunyai lebih dari satu rencana penyelesaian.
f.       Dia mempunyai rasa humor.
Orang yang dewasa berpendapat bahwa tertawa itu sehat. Tetapi dia tidak akan menertawakan atau merugikan/melukai perasaan orang lain. Dia juga tidak akan tertawa jika humor itu membuat orang lain jadi tampak bodoh. Humor semestinya merupakan bagian dari emosi yang sehat, yang memunculkan senyuman hangat dan pancaran yang manis. Perasaan humor anda menyatakan sikap anda terhadap orang lain. Orang yang dewasa menggunakan humor sebagai alat melicinkan ketegangan, bukan pemukul orang lain.

C.    PEMECAHAN MASALAH
Mendefinisikan ‘maturitas’ alias ‘kematangan’, mendeskripsikan lima persyaratan kematangan pribadi yaitu: berpikir obyektif, berpikir positif, mampu mengendalikan dan menyalurkan emosi, bertanggung jawab, serta mampu membina hubungan interpersonal yang harmonis dan konsisten dalam waktu yang relatif panjang.
Karena ketidakmatangan sering terlihat pada ketidakberanian dalam mengambil keputusan, memaksakan pendapat, meng-“abuse” kekuasaan, serta ketidakmampuan menbina hubungan antar manusia secara fair dan bertanggung jawab.
Dari kenyataan ini, kita bisa belajar bahwa pada dasarnya pendidikan dan kepintaran tidak selamanya berkorelasi dengan kematangan pribadi, terutama kalau individu mengembangkan fungsi-fungsi di dalam dirinya secara berat sebelah, misalnya saja banyak berpikir tanpa mengembangkan kepribadian dalam kehidupan sehari-hari di organisasi.
1.      Kematangan Bisa Terkikis dan Menular
Bagi kebanyakan orang, kematangan ditandai dengan kedewasaan yang diindikasikan dengan keberanian memasuki jenjang perkawinan, punya penghasilan sendiri serta lepas dari bimbingan orang tua. Namun, terutama dalam situasi menekan, kritis dan berisiko, kita sendiri kemudian dapat menyadari ataupun menyaksikan bahwa respons individu sering menunjukkan ketidakdewasaan. Tidak bijaksananya individu disebabkan karena ia belum mencapai tingkat kematangan yang diharapkan baik oleh lingkungan maupun oleh dirinya sendiri.
Kematangan tidak diturunkan, bukan bawaan sejak lahir, tetapi benar-benar dipelajari dan dilatih. Selain itu kematangan atau ketidakmatangan juga bisa terkikis dan menular. Bayangkan betapa menyedihkannya bila menyaksikan seorang yang sudah berangkat matang, kemudian merosot karena berada di lingkungan yang bobrok.
Kematangan atau ketidakmatangan bisa merupakan ciri sekelompok orang, misalnya kelompok orang yang terlalu fanatik sehingga mempunyai keyakinan-keyakinan yang tidak obyektif lagi ataupun kelompok orang yang mempunyai norma yang jelas-jelas sudah tidak diterima masyarakat tetapi tetap membenarkannya. Bahkan bangsa tertentu juga bisa secara tidak matang menentukan arah politiknya, sehingga mengakibatkan penderitaan jutaan orang. 
2.      Pertajam Kesadaran
Kemampuan untuk menyadari kekurangan dan mempunyai hasrat untuk mengembangkan diri. Yakni memelihara sikap kebal dan pengecutnya, bahkan mengembangkan imaturitasnya sampai tua. Tumpulnya kesadaran yang dipelihara sering menyebabkan ketidakmampuan individu untuk berdialog dengan hati nurani atau katahatinya, sehingga ia kehilangan kacamata obyektif dan positifnya dan memang ”dibutakan” dari realitas.
3.      Perkuat Sifat Ksatria
Berbeda dengan prestasi, individu memang tidak bisa ”pamer kematangan” dengan mudah, tetapi harus membuktikannya dengan tindakan yang teruji. Sikap obyektif, positif, bertanggungjawab dan matang emosi hanya bisa ditakar dalam hati. Bila seorang ingin bersikap bijaksana, adil dan ”fair”, maka ia perlu menyelesaikan pergulatan dan konflik internalnya di dalam hati.





















D.    KESIMPULAN DAN SARAN
1.      KESIMPULAN
Kemampuan membangun komitmen/visi dan misi rumah tangga, memahami karakter keluarga pasangan, memahami kebiasaan dan sifat masing-masing pasangan merupakan syarat utama seseorang layak atau tidaknya untuk menikah. Sebetulnya kematangan atau kesiapan seseorang bisa dilatih sejak dini, melatih tanggungjawab bisa dimulai ketika anak sudah akil balig. Anak bisa dilatih peran-peran seseorang dalam berumahtangga. Intinya memainkan peran sebagai pasangan yang siap menyatukan kepribadian yang berbeda dan peran sebagai orangtua serta tanggungjawabnya di masyarakat.
Menciptakan keluarga yang harmonis, bahagia dunia dan akhirat adalah tujuan dari pernikahan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sukses merupakan suatu hubungan yang dinamis, di mana kepribadian dari kedua pasangan berkembang secara terus menerus sehingga dalam hubungan tersebut tercapai kepuasan pribadi pada taraf yang tinggi.
Suami istri yang memiliki pribadi matang menyebabkan masing-masing pasangan dapat menerima dan memahami pasangan, dapat menumbuhkan hubungan sosial yang baik, menciptakan pengertian dan kepuasan dalam pernikahan.
2.      SARAN DAN REKOMENDASI
”Menjadi Tua itu Pasti, namun menjadi dewasa itu adalah Pilihan”









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad pramudya, S., Menumbuhkan Kematangan Berpikir, EDSA Mahkota, Jakarta, Mei 2006

Bahaudin Mu’dhary,KH, Daya Nalar Budi (Sebuah Ikhtiar Merengkuh Kekuatan Intuisi Spiritual), Pustaka Progressif, Surabaya, Cetakan I, Desember 2003.

Jen Z.A.Hans, Strategi Pengembangan Diri Untuk Kesuksesan Fisik, Intelektual, Emosi, Sosial, Finansial  dan Spiritual, Personal Development Training, Jakarta Selatan, Cetakan II, Maret 2006

Jimmy Teo, Mutiara Kehidupan (A Legacy to My Sons) Percikan Pemikiran Bijak, pustaka Populer Obor, Cetakan I, April 2006.

Mangunhardjana, S.J,A.M, Mengatasi Hambatan-hambatan Kepribadian, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cetakan 12, 1994

Muhammad M Dlori, Dicintai Suami (Istri) sampai Mati, Penerbit Kata Hati , Ar Ruzz media , Yogayakarta, 2005.

Robbert W Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994

Rochelle Semmel Albin, Emosi (Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1986.

Syamsu Yusuf,Dr.H,,LN.M.Pd, Mental Higiene (Perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan Agama),  Penerbit Bani Quraish, Bandung, Cetakan I, April 2004.

Wisnobroto Widarso, Berpikir dan Bertindak Positif (1 Kiat Untuk Meraih sukses), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Cetakan 5, 2002.





By : Nurhajs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar