animasi kursor

SELAMAT DATANG DI BERANDA KAMI


Kehidupan, kadang membuat kita tersenyum bahagia, namun tidak jarang membuat kita bermuram durja. Janganlah gundah karena semua itu hanyalah sebuah perjalanan menuju kehidupan abadi. Mari kita berbagi inspirasi, untuk menggapai kehidupan abadi yang bahagia, selamanya.

Kamis, 28 November 2013

Iman itu Mencerdaskan



IMAN ITU MENCERDASKAN  
(DALAM PERSPEKTIF FILOSOFIS ISLAM)
Nurhaj Syarifah

PENDAHULUAN
Manusia lahir tanpa mengetahui sesuatu. Tetapi, kemudian dengan pancaindera, akal dan jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah. Dengan coba-coba, pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya, ia menemukan pengetahuan. Namun demikian, keterbatasan pancaindra dan akal menjadikan sekian banyak tanda tanya yang jiwanya karena manusia memiliki naluri ingin tahu.
Manusia mempunyai dua kelemahan: pertama, keterbatasan pengetahuannya, kedua, sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Manusia memperoleh pengetahuan berkat usahanya sendiri dengan menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah kepadanya. Keterbatasan manusia memaksanya untuk berpikir tentang dirinya sendiri dengan kekuatan supranatural yang tak terbatas yang mengatur alam dan segala isinya, termasuk manusia itu sendiri.
Sistem pendidikan Al Qur’an  adalah “rabbaniy” berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama (Iqra’).[1] Kata iqra’ diambil dari kat qara’a pada mulanya berarti ‘menghimpun. Arti asal kata ini menunjukkan bahwa iqra’ yang diterjemahkan dengan bacalah mengandung berbagai macam arti, antara lain : menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dikaitkan dengan ‘bi ismi Rabbika’ (dengan nama Tuhanmu). 

Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang berharga yang pernah dan dapat diberikan kepada manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat utama membangun peradaban. Sementara orang yang melaksanakan juga disebut “rabbaniy” yang oleh Al mengajarkan kitab Allah, baik yang tertulis (Al Qur’an) maupun yang tidak tertulis (alam raya) serta mempelajarinya secara terus menerus. Mengulang-ulang membaca Al Qur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang membaca alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Konsepsi Al Qur’an tentang keharusan menuntut ilmu dan memeperoleh pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan yang berlangsung seumur hidup menjadi tanggungjawab bersama keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Betapa Al Qur’an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri. Al Qur’an memperhatikan keseluruhan manusiawi, jiwa, akal dan jasmaninya. Dan juga Al Qur’an mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi, sekecil apapun adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan dan pengaturan-Nya.
Ayat-ayat Al Qur’an merupakan serat yang membentuk  tenunan kehidupan muslim serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu, seringkali pada saat Al Qur’an berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan.
Dalam bidang pendidikan,  Al Qur’an menuntut bersatunya kata dan sikap, demikian juga menuntut keterpaduan orangtua, masyarakat dan pemerintah. Sehingga pada akhirnya berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan, ridla dan ampunan Ilahi. Kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam mendorong pengembangan ilmu dan tehnologi serta kecerahan berpikir dan kesucian hati. Sehingga dapat dikatakan iman yang ada dalam hati tersebut bisa mencerdaskan karena senantiasa mengandung pengetahuan Qur’ani.
Manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah, sehingga Al Qur’an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan. Di samping mata, telinga dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, Al Qur’an pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati melalui firasat, intuisi dan semacamnya. Seseorang yang memiliki ilmu harus memiliki sifat yang menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah).
PEMBAHASAN
Al Qur’an dalam realitas Keimanan
Al Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa dan karsa kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat. Adapun Al Qur’an bertujuan antara lain :
1.      Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
2.      Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab (manusia bekerjasama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan).
3.      Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan (kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan ilmu, iman dan rasio).
4.      Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerjasama melalui musyawarah dan mufakat.
5.      Untuk membasmi kemiskinan materal dan spiritual dan juga penderitaan hidup.
6.      Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
7.      Untuknmenciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
8.      Untuk menekankan peranan ilmu dan tehnologi yang sejalan dengan jati diri manusia dan paduan Nur Ilahi.[2]
Al Qur’an merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi kasih dan keharuan cinta untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia. Sehingga sebagai makhluk yang berpikir, manusia dapat menjadi cerdas dalam perkembangan ilmu pengetahuannya.
            Dengan pribadi yang Islami, setiap tingkahlaku disandarkan kepada kebesaran dan sifat-sifat Allah, karena hanya Allah yang bisa memberikan kecerdasan dan pengetahuan tentang kehidupan bagi manusia. Sumber kecerdasan disandarkan selalu kepada kebesaran dan ajaran Allah yaitu sifat-sifat-Nya dan ajaran agama Islam.
Al Qur’an di Tengah Perkembangan Filsafat
            Filsafat merupakan jenis pengetahuan yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengajuan kritis terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Al Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu dan filsafat manusia mengandung 3 hal pokok yaitu : akidah atau kepercayaan, budi pekerti, muamalah/ hukum-hukum.
Ilmu menurut Al Qur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, fisika atau metafisika. Pengertian ilmu atau science yang meliputi pengungkapan  sunatullah tentang alam raya (hukum-hukum alam) dan intelligible (dapat dijangkau  oleh akal dan daya manusia) dimudahkan  untuk dimanfaatkan manusia, tafakkur yang menghasilkan sains dan tashkhir yang menghasilkan tehnologi. Sebagaimana dalam Al Qur’an yakni :
Artinya : “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Surat Al Baqarah : 85)[3]
Ilmu tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia.Ia hanya dapat menciptakan pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia itu mampu berbuat segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana. Untuk menetralkan pengaruh tehnologi yang menghilangkan kepribadian, harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual.
 Agama dimulai dari sikap percaya dan iman, oleh Al Qur’an tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan ada dari ajaran-ajaran agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian logika atau bukan pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang berdasarkan taqlid tidak luput dari kekurangan.
Akan tetapi juga karena Al Qur’an memberi kesempatan kepada siapa saja secara sendirian atau bersama-sama dan kapan saja untuk membuktikan kekeliruan Al Qur’an dengan menandinginya walaupun hanya semisal satu surahpun. Dimensi spiritual inilah yang mengantarkan untuk cenderung kepada keindahan, pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, mengantarkan kepada suatu realitas yang Maha Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa akhir.
Peradaban yang dibangun oleh “Makhluk membaca/makhluk Cerdas”
Membaca merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna. Membaca adalah syarat utama dalam membangun peradaban. Manusia sebagai makhluk berpikir bertugas  sebagai ‘abd lillah dan sebagai khalifah fil ardh, kedua fungsi ini adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Dengan ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada manusia, memiliki kelebihan dari malaikat yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk menjadi pembangun peradaban (menjadi khalifah di bumi). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang benar, manusia menduduki tempat yang terhormat.
Kekhalifahan menuntut hubungan antara manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan dengan Allah. Kekhalifahan menuntut kearifan, Demikianlah iqra’ merupakan syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia.
Konsep Pendidikan dalam Al Qur’an
Al Qur’an sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia baik secara pribadi maupun kelompok. Rasulullah Saw yang bertindak sebagai penerima Al Qur’an bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia dengan tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia. Atas dasar ini, tujuan pendidikan Al Qur’an adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya untuk membangun dunia sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.
Kekhalifahan mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: unsur material/jasmani dan immaterial/akal dan jiwa. Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman.
Itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab ad-din dan adab al dunya sehingga tercipta manusia yang bertaqwa, cerdas dan trampil, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian dan memiliki semangat keilmuan. Sistem pendidikan Al Qur’an  adalah “rabbaniy” berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama (Iqra’).
Nilai-nilai Iman dapat Membentuk Pribadi-pribadi Muslim yang Mencerdaskan   
Manusia dalam Al Qur’an adalah kepribadiannya atau manusia dalam totalitasnya. Manusia dalam wujudnya sebagai perorangan (anfusihim) dan  kedudukannya sebagai salah satu anggota masyarakat (qawm). Adapun dalam diri manusia tersebut terdapat nilai-nilai yang mendorong pangamalan dan aktivitas yang mempengaruhi dan menguasai seluruh jiwa raganya.
            Bagi umat Islam nilai yang harus mengarahkan seluruh  aktivitasnya, lahir dan batin yang kepadanya bermuara seluruh gerak langkah dan detak jantung adalah tauhid (Keesaan Allah) yang bisa menembus semua dimensi yang mengatur seluruh khazanah fundamental keimanan dan aksi manusia.
            Dari Keesaan Tuhan dan kepada KeesaanNya memancar kesatuan-kesatuan lainnya, seperti kesatuan alam semesta dalam penciptaan, eksistensi dan tujuannya, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dalam berbagai disiplin dengan amal, kesatuan iman dan rasio, kesatuan amal manusia dan  kesatuan-kesatuan lainnya. Nilai-nilai inilah yang dihayati oleh masyarakat Islam awal sehingga mengubah secara total sikap, pola pikir dan tingkah laku mereka.
            Adapun sikap dan tingkah laku yang berkaitan dengan kehidupan sosial namun tidak berkaitan langsung dengan akidah tauhid dihadapi dengan bimbingan secara bertahap. Minuman keras, zina, riba, perbudakan dan lain-lain yang menjadi bagian dari pandangan masyarakat. Bagi pribadi muslim yang cerdas, hal itu dihadapi dengan cara pandang dan kaitannya dengan prinsip hidup dari sisi –sisi negatifnya.
            Semuanya bermula dari pribadi-pribadi dan berakhir pada masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan menular kepada masyarakat. Sementara itu, masyarakat membina pribadi-pribadi guna mengokohkan nilai-nilai luhur.
Intelektual Muslim
            Intellect diartikan sebagai “the power of the mind by which we know, reason and think” (kekuatan pikiran yang dengannya kita mengetahui, menalar dan berpikir), di samping juga berarti sebagai seseorang yang memiliki potensi tersebut secara aktual yakni mampu menganalisis terhadap masalah-masalah tertentu.
Dalam surat Al Imran ayat 190 – 195, intelektual muslim  mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat : (1) berzikir dan mengingat Tuhan dalam segala situasi dan kondisi (2) Memikirkan atau memperhatikan fenomena alam raya untuk kebahagiaan dan kenyamanan hidup duniawi (3) berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata. Seseorang yang memperoleh kemampuan berpikir dengan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran dan perhatian tersebut dinamai sebagai ulama atau cendikiawan apapun disiplin ilmu yang ditekuninya.
Ilmu serta pemikiran para intelektual baru akan relevan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan segala aspek kehidupan yang terus berkembang dan meningkat bila dirangkaikan dengan segi-segi praktis (tehnologi). Itulah arti ungkapan “Ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon tak berbuah atau awan yang tak menghasilkan hujan. Ini yang dimohon Nabi agar beliau terhindar darinya.
Peranan intelektual muslim sangat didambakan dalam merumuskan pola-pola praktis dalam rangka pemanfaatan ibadah amaliyah kaum muslim seperti zakat, infaq, shadaqah dan waqaf. Dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan dapat berperan sebagai unsur-unsur kontrol sosial (al amr bi al ma’ruf wa al nahiy al munkar) dengan melalui :
a.       Mempertebal dan memperkukuh iman kaum muslim, sehingga tidak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi atau paham-paham yang membahayakan negara, bangsa dan agama.
b.      Meningkatkan tata kehidupan umat dalam arti yang luas untuk menyadari bahwa agama mewajibkan mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih cerah dari hari ini dengan kerja keras serta kesadaran akan keseimbangan hidup dunia akhirat.
Predikat muslim menuntut sifat-sifat yang harus menghiasi dirinya yaitu sifat Rabbani (mengajarkan kitab suci dan terus-menerus mempelajarinya) dan merupakan suri tauladan bagi masyarakatnya)
KESIMPULAN                                                                      
Antara akal, kalbu, pikir dan dzikir, iman dan ilmu dapat membina pribadi-pribadi muslim yang cerdas berdasar kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang“rabbaniy” berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama (Iqra’). Apapun ilmunya, materi pembahasannya harus Bismika Rabbik atau harus dengan nilai Rabbani, sehingga ilmu yang dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat sebagian ahli bebas nilai, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Adib Muhammad, Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, logika dan Ilmu pengetahuan), Cet.I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Soemanto Wasty, Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan), Cetakan kelima, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006.
Shihab M. Quraish, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, PT. Mizan Pustaka, cet XVI, Bandung, 2005.
Shihab M.Quraish, Membumikan Al Qur’an, PT Mizan Pustaka, Bandung, 1992.
Mahfudz Sahal, Nuansa Fiqh Sosial, Cetakan Kedua, LkiS Yogyakarta, 2003.
Suma M.Amin, Pilar Islam (Membentuk Pribadi Tangguh), Cet I, Kholam Publishing, Jakarta, 2007.
Ma’arif Syamsul, The Beauty  of Islam ( Dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme), Cet.I, Need’s Press, Semarang, 2008.
Muhammad Fery, Apa yang membuat orang Beriman merasa Bahagia? (12 Kunci Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat), Cet.I, Ananda Publishing, Yogyakarta, 2007.
Departemen Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2006.

By : Nurhajs


[1] Dr.H.Muh.Anis,M.A, Kuliah Pendidikan Islam dan Modernitas, hari ahad tanggal 20 Juni 2010.
[2] M.Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an (Cetakan pertama,PT Mizan Pustaka, Bandung, 2007) hlm.16.
[3] Al Qur’an Tajwid dan Terjemahan ( Departemen Agama RI, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2006) hlm.13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar