IMAN ITU
MENCERDASKAN
(DALAM PERSPEKTIF
FILOSOFIS ISLAM)
Nurhaj Syarifah
PENDAHULUAN
Manusia
lahir tanpa mengetahui sesuatu. Tetapi, kemudian dengan pancaindera, akal dan
jiwanya sedikit demi sedikit pengetahuannya bertambah. Dengan coba-coba,
pengamatan, pemikiran yang logis dan pengalamannya, ia menemukan pengetahuan.
Namun demikian, keterbatasan pancaindra dan akal menjadikan sekian banyak tanda
tanya yang jiwanya karena manusia memiliki naluri ingin tahu.
Manusia
mempunyai dua kelemahan: pertama, keterbatasan pengetahuannya, kedua, sifat
egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Manusia memperoleh
pengetahuan berkat usahanya sendiri dengan menggunakan potensi yang
dianugerahkan Allah kepadanya. Keterbatasan manusia memaksanya untuk berpikir
tentang dirinya sendiri dengan kekuatan supranatural yang tak terbatas yang
mengatur alam dan segala isinya, termasuk manusia itu sendiri.
Sistem
pendidikan Al Qur’an adalah “rabbaniy”
berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama (Iqra’).[1] Kata
iqra’ diambil dari kat qara’a pada mulanya berarti ‘menghimpun. Arti asal kata
ini menunjukkan bahwa iqra’ yang diterjemahkan dengan bacalah mengandung
berbagai macam arti, antara lain : menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami,
meneliti, mengetahui ciri-cirinya dikaitkan dengan ‘bi ismi Rabbika’ (dengan
nama Tuhanmu).
Sungguh,
perintah membaca merupakan sesuatu yang berharga yang pernah dan dapat
diberikan kepada manusia. “Membaca” dalam aneka maknanya adalah syarat utama
membangun peradaban. Sementara orang yang melaksanakan juga disebut “rabbaniy”
yang oleh Al mengajarkan kitab Allah, baik yang tertulis (Al Qur’an) maupun
yang tidak tertulis (alam raya) serta mempelajarinya secara terus menerus.
Mengulang-ulang membaca Al Qur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan
gagasan dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan batin. Berulang-ulang
membaca alam raya, membuka tabir rahasianya dan memperluas wawasan serta
menambah kesejahteraan lahir. Konsepsi Al Qur’an tentang keharusan menuntut
ilmu dan memeperoleh pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan yang berlangsung
seumur hidup menjadi tanggungjawab bersama keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Betapa
Al Qur’an sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu,
pikir dan zikir, iman dan ilmu. Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti
robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama
dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di
tangan pencuri. Al Qur’an memperhatikan keseluruhan manusiawi, jiwa, akal dan
jasmaninya. Dan juga Al Qur’an mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang
terjadi, sekecil apapun adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan dan
pengaturan-Nya.
Ayat-ayat
Al Qur’an merupakan serat yang membentuk
tenunan kehidupan muslim serta benang yang menjadi rajutan jiwanya.
Karena itu, seringkali pada saat Al Qur’an berbicara tentang satu persoalan
menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul
berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak
saling berkaitan.
Dalam
bidang pendidikan, Al Qur’an menuntut
bersatunya kata dan sikap, demikian juga menuntut keterpaduan orangtua,
masyarakat dan pemerintah. Sehingga pada akhirnya berhasil membangun masyarakat
yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan hidayah, keadilan dan
kemakmuran di bawah lindungan, ridla dan ampunan Ilahi. Kita sepenuhnya yakin
bahwa keberhasilan Rasul dan generasi terdahulu dalam membangun peradaban Islam
mendorong pengembangan ilmu dan tehnologi serta kecerahan berpikir dan kesucian
hati. Sehingga dapat dikatakan iman yang ada dalam hati tersebut bisa
mencerdaskan karena senantiasa mengandung pengetahuan Qur’ani.
Manusia
memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah,
sehingga Al Qur’an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang
berpengetahuan. Di samping mata, telinga dan pikiran sebagai sarana meraih
pengetahuan, Al Qur’an pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati
melalui firasat, intuisi dan semacamnya. Seseorang yang memiliki ilmu harus
memiliki sifat yang menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada
Allah).
PEMBAHASAN
Al Qur’an dalam
realitas Keimanan
Al
Qur’an adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita menemukan
nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian berbagai problem
hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa dan karsa
kita mengarah kepada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan
ketentraman hidup pribadi dan masyarakat. Adapun Al Qur’an bertujuan antara
lain :
1.
Untuk
membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
2.
Untuk
mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab (manusia bekerjasama dalam
pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan).
3.
Untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan (kesatuan kehidupan dunia dan akhirat,
kesatuan ilmu, iman dan rasio).
4.
Untuk
mengajak manusia berpikir dan bekerjasama melalui musyawarah dan mufakat.
5.
Untuk
membasmi kemiskinan materal dan spiritual dan juga penderitaan hidup.
6.
Untuk
memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang-Nya.
7.
Untuknmenciptakan
ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
8.
Untuk
menekankan peranan ilmu dan tehnologi yang sejalan dengan jati diri manusia dan
paduan Nur Ilahi.[2]
Al Qur’an
merangsang akal dan menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi
kasih dan keharuan cinta untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Sehingga sebagai makhluk yang berpikir, manusia dapat menjadi cerdas dalam
perkembangan ilmu pengetahuannya.
Dengan pribadi yang Islami, setiap
tingkahlaku disandarkan kepada kebesaran dan sifat-sifat Allah, karena hanya
Allah yang bisa memberikan kecerdasan dan pengetahuan tentang kehidupan bagi
manusia. Sumber kecerdasan disandarkan selalu kepada kebesaran dan ajaran Allah
yaitu sifat-sifat-Nya dan ajaran agama Islam.
Al Qur’an di
Tengah Perkembangan Filsafat
Filsafat merupakan jenis pengetahuan
yang memberikan kesatuan dan sistem ilmu pengetahuan melalui pengajuan kritis
terhadap dasar-dasar keputusan, prasangka-prasangka dan kepercayaan. Al Qur’an
dalam kaitannya dengan ilmu dan filsafat manusia mengandung 3 hal pokok yaitu :
akidah atau kepercayaan, budi pekerti, muamalah/ hukum-hukum.
Ilmu
menurut Al Qur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia
dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, fisika atau metafisika.
Pengertian ilmu atau science yang meliputi pengungkapan sunatullah tentang alam raya (hukum-hukum
alam) dan intelligible (dapat dijangkau
oleh akal dan daya manusia) dimudahkan
untuk dimanfaatkan manusia, tafakkur yang menghasilkan sains dan
tashkhir yang menghasilkan tehnologi. Sebagaimana dalam Al Qur’an yakni :
Artinya : “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu
(saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung
halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan
permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus
mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu
beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(Surat Al Baqarah : 85)[3]
Ilmu
tidak mampu menciptakan kebahagiaan manusia.Ia hanya dapat menciptakan
pribadi-pribadi manusia yang bersifat satu dimensi, sehingga walaupun manusia
itu mampu berbuat segala sesuatu, namun sering bertindak tidak bijaksana. Untuk
menetralkan pengaruh tehnologi yang menghilangkan kepribadian, harus menggali
nilai-nilai keagamaan dan spiritual.
Agama dimulai dari sikap percaya dan iman,
oleh Al Qur’an tidak diterima secara penuh. Bukan saja karena ia selalu
menganjurkan untuk berpikir, bukan pula hanya disebabkan ada dari ajaran-ajaran
agama yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian logika atau bukan
pula disebabkan oleh keyakinan seseorang yang berdasarkan taqlid tidak luput
dari kekurangan.
Akan
tetapi juga karena Al Qur’an memberi kesempatan kepada siapa saja secara
sendirian atau bersama-sama dan kapan saja untuk membuktikan kekeliruan Al
Qur’an dengan menandinginya walaupun hanya semisal satu surahpun. Dimensi
spiritual inilah yang mengantarkan untuk cenderung kepada keindahan,
pengorbanan, kesetiaan, pemujaan, mengantarkan kepada suatu realitas yang Maha
Sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan tanpa akhir.
Peradaban yang
dibangun oleh “Makhluk membaca/makhluk Cerdas”
Membaca
merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang
sempurna. Membaca adalah syarat utama dalam membangun peradaban. Manusia
sebagai makhluk berpikir bertugas
sebagai ‘abd lillah dan sebagai khalifah fil ardh, kedua fungsi ini
adalah konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada
manusia.
Dengan
ilmu yang diajarkan oleh Allah kepada manusia, memiliki kelebihan dari malaikat
yang tadinya meragukan kemampuan manusia untuk menjadi pembangun peradaban
(menjadi khalifah di bumi). Dan dengan ibadah yang didasari oleh ilmu yang
benar, manusia menduduki tempat yang terhormat.
Kekhalifahan
menuntut hubungan antara manusia dengan manusia, dengan alam serta hubungan
dengan Allah. Kekhalifahan menuntut kearifan, Demikianlah iqra’ merupakan
syarat pertama dan utama bagi keberhasilan manusia.
Konsep
Pendidikan dalam Al Qur’an
Al
Qur’an sebagai pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus bertujuan memberi
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia baik secara pribadi maupun kelompok.
Rasulullah Saw yang bertindak sebagai penerima Al Qur’an bertugas untuk
menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia
dengan tujuan yang ingin dicapai adalah pengabdian kepada Allah sejalan dengan
tujuan penciptaan manusia. Atas dasar ini, tujuan pendidikan Al Qur’an adalah
membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya untuk membangun dunia sesuai
dengan konsep yang ditetapkan Allah.
Kekhalifahan
mengharuskan empat sisi yang saling berkaitan: unsur material/jasmani dan
immaterial/akal dan jiwa. Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan
jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya
menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut terciptalah
makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan dunia dan akhirat, ilmu dan iman.
Itulah
sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab ad-din dan adab al dunya
sehingga tercipta manusia yang bertaqwa, cerdas dan trampil, berbudi pekerti
luhur dan berkepribadian dan memiliki semangat keilmuan. Sistem pendidikan Al
Qur’an adalah “rabbaniy” berdasarkan
ayat pertama dalam wahyu pertama (Iqra’).
Nilai-nilai Iman
dapat Membentuk Pribadi-pribadi Muslim yang Mencerdaskan
Manusia
dalam Al Qur’an adalah kepribadiannya atau manusia dalam totalitasnya. Manusia
dalam wujudnya sebagai perorangan (anfusihim) dan kedudukannya sebagai salah satu anggota
masyarakat (qawm). Adapun dalam diri manusia tersebut terdapat nilai-nilai yang
mendorong pangamalan dan aktivitas yang mempengaruhi dan menguasai seluruh jiwa
raganya.
Bagi umat Islam nilai yang harus
mengarahkan seluruh aktivitasnya, lahir
dan batin yang kepadanya bermuara seluruh gerak langkah dan detak jantung
adalah tauhid (Keesaan Allah) yang bisa menembus semua dimensi yang mengatur seluruh
khazanah fundamental keimanan dan aksi manusia.
Dari Keesaan Tuhan dan kepada
KeesaanNya memancar kesatuan-kesatuan lainnya, seperti kesatuan alam semesta
dalam penciptaan, eksistensi dan tujuannya, kesatuan kehidupan dunia dan
akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan ilmu dalam berbagai
disiplin dengan amal, kesatuan iman dan rasio, kesatuan amal manusia dan kesatuan-kesatuan lainnya. Nilai-nilai inilah
yang dihayati oleh masyarakat Islam awal sehingga mengubah secara total sikap,
pola pikir dan tingkah laku mereka.
Adapun sikap dan tingkah laku yang
berkaitan dengan kehidupan sosial namun tidak berkaitan langsung dengan akidah
tauhid dihadapi dengan bimbingan secara bertahap. Minuman keras, zina, riba,
perbudakan dan lain-lain yang menjadi bagian dari pandangan masyarakat. Bagi
pribadi muslim yang cerdas, hal itu dihadapi dengan cara pandang dan kaitannya
dengan prinsip hidup dari sisi –sisi negatifnya.
Semuanya bermula dari
pribadi-pribadi dan berakhir pada masyarakat. Pola pikir dan sikap perorangan
menular kepada masyarakat. Sementara itu, masyarakat membina pribadi-pribadi
guna mengokohkan nilai-nilai luhur.
Intelektual
Muslim
Intellect diartikan sebagai “the
power of the mind by which we know, reason and think” (kekuatan pikiran
yang dengannya kita mengetahui, menalar dan berpikir), di samping juga berarti
sebagai seseorang yang memiliki potensi tersebut secara aktual yakni mampu
menganalisis terhadap masalah-masalah tertentu.
Dalam
surat Al Imran ayat 190 – 195, intelektual muslim mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat : (1)
berzikir dan mengingat Tuhan dalam segala situasi dan kondisi (2) Memikirkan
atau memperhatikan fenomena alam raya untuk kebahagiaan dan kenyamanan hidup
duniawi (3) berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata. Seseorang yang
memperoleh kemampuan berpikir dengan hasil-hasil yang diperoleh dari pemikiran
dan perhatian tersebut dinamai sebagai ulama atau cendikiawan apapun disiplin
ilmu yang ditekuninya.
Ilmu
serta pemikiran para intelektual baru akan relevan sebagai sumber untuk
memenuhi kebutuhan segala aspek kehidupan yang terus berkembang dan meningkat
bila dirangkaikan dengan segi-segi praktis (tehnologi). Itulah arti ungkapan
“Ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon tak berbuah atau awan yang tak
menghasilkan hujan. Ini yang dimohon Nabi agar beliau terhindar darinya.
Peranan
intelektual muslim sangat didambakan dalam merumuskan pola-pola praktis dalam
rangka pemanfaatan ibadah amaliyah kaum muslim seperti zakat, infaq, shadaqah
dan waqaf. Dalam kehidupan bermasyarakat diharapkan dapat berperan sebagai
unsur-unsur kontrol sosial (al amr bi al ma’ruf wa al nahiy al munkar) dengan
melalui :
a.
Mempertebal
dan memperkukuh iman kaum muslim, sehingga tidak tergoyahkan oleh
pengaruh-pengaruh negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi atau paham-paham
yang membahayakan negara, bangsa dan agama.
b.
Meningkatkan
tata kehidupan umat dalam arti yang luas untuk menyadari bahwa agama mewajibkan
mereka untuk berusaha menjadikan hari esok lebih cerah dari hari ini dengan
kerja keras serta kesadaran akan keseimbangan hidup dunia akhirat.
Predikat muslim
menuntut sifat-sifat yang harus menghiasi dirinya yaitu sifat Rabbani
(mengajarkan kitab suci dan terus-menerus mempelajarinya) dan merupakan suri
tauladan bagi masyarakatnya)
KESIMPULAN
Antara
akal, kalbu, pikir dan dzikir, iman dan ilmu dapat membina pribadi-pribadi
muslim yang cerdas berdasar kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang“rabbaniy”
berdasarkan ayat pertama dalam wahyu pertama (Iqra’). Apapun ilmunya, materi
pembahasannya harus Bismika Rabbik atau harus dengan nilai Rabbani, sehingga
ilmu yang dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat sebagian ahli bebas
nilai, harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Adib Muhammad, Filsafat
Ilmu (Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, logika dan Ilmu pengetahuan),
Cet.I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Soemanto Wasty,
Psikologi Pendidikan (Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan), Cetakan
kelima, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006.
Shihab M.
Quraish, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
PT. Mizan Pustaka, cet XVI, Bandung, 2005.
Shihab
M.Quraish, Membumikan Al Qur’an, PT Mizan Pustaka, Bandung, 1992.
Mahfudz Sahal, Nuansa
Fiqh Sosial, Cetakan Kedua, LkiS Yogyakarta, 2003.
Suma M.Amin,
Pilar Islam (Membentuk Pribadi Tangguh), Cet I, Kholam Publishing, Jakarta,
2007.
Ma’arif
Syamsul, The Beauty of Islam ( Dalam
Cinta dan Pendidikan Pluralisme), Cet.I, Need’s Press, Semarang, 2008.
Muhammad Fery,
Apa yang membuat orang Beriman merasa Bahagia? (12 Kunci Meraih Kebahagiaan
Dunia dan Akhirat), Cet.I, Ananda Publishing, Yogyakarta, 2007.
Departemen
Agama RI, Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, Maghfirah Pustaka, Jakarta,
2006.
By : Nurhajs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar