BERQURBAN
KARENA MENGHARAP RIDLA ALLAH SWT
Hj.
Nurhaj Syarifah, S.Ag.
A. PENDAHULUAN
Qurban
berasal dari kata qurbah yang bermakna pendekatan, sedangkan ritual qurban adalah salah satu
ritual ibadah pemeluk agama Islam dimana dilakukan penyembelihan binatang
ternak untuk dipersembahkan kepada Allah Swt. Ritual qurban dilakukan pada
bulan dzulhijah tanggal 10 dan 11,12,13 (hari tasyrik) bertepatan dengan hari
raya Idul Adha.
Secara etimologi, qurban mendekatkan
diri. Secara terminologi kur ban berarti berjuang secara benar atas dasar
takwa dan sabar, baik harta, tenaga, maupun jiwa dengan tujuan mendekatkan diri
kepada Allah serta memperoleh keridhaan-Nya. Kerapkali harta, tenaga, dan jiwa
menjadi ‘korban’, belum menjadi ‘kurban.’ Hal ini lantaran dikeluarkannya bukan
atas dasar takwa, sabar, dan ikhlas karena Allah. Dalam Ibadah kurban, juga
bukanlah semata-mata rangkaian ritual yang hanya berdimensi spiritual. Ibadah
Kurban tidak semata-mata upacara penyembelihan, tetapi merupakan ibadah yang
menempa diri menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Tujuan utama dari semua ibadah dalam Islam adalah
agar menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt. Ibadah tersebut
adalah sebagai sarana untuk meraih kemulian dan kecintaan Allah, termasuk juga
dengan ibadah qurban. Dalam al-qur’an
surat al-hajj ayat 37 Allah menjelaskan:” Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai keridlaan Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah
yang dapat mencapainya. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayahNya kepada kamu. Dan sampaikanlah kabar
gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” [1]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ibadah qurban adalah
sarana yang dapat digunakan untuk meraih ketaqwaan. Bahkan hewan yang kita
qurbankan telah sampai kepada Allah sebelum hewan tersebut jatuh ketanah pada
hari penyembelihannya.
Berqurban merupakan salah satu syi’ar Islam dan bentuk
ketaatan yang paling utama. Kurban adalah syi’ar keluhuran dan keagungan Islam.
Semua agama punya syiar, tetapi tidak seindah dan seluhur syi’ar Islam. Berqurban
adalah syi’ar keikhlasan dalam beribadah kepada Allah Swt semata serta
realisasi ketundukan kepada perintah dan larangan-Nya. Maka dari itu, setiap
muslim yang mempunyai kelapangan rezeki hendaknya ia berkurban. Syi’ar qurban bukan ajang pamer kekayaan dan
kemewahan melainkan kebanggaan dan keunggulan beribadah yang ditujukan hanya
untuk Allah Swt. Niat ibadah qurban itu
hanya untuk Allah swt semata, sebagaimana disyari’atkan dalam Al Qur’an Surat An Nashr (108) : 2
Artinya :" Sesungguhnya Kami telah memberikan
kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan
berqurbanlah. Sesunggihnya orang-orang yang membenci dialah yang terputus. (Al
Kautsar: 1-3).[2]
Maksud dalam ayat ini adalah berqurban merupakan
bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah muakkad (yang amat
dianjurkan). Qurban tidak boleh disertai
kepentingan lain, harus hanya karena Allah Swt saja, yang tercermin dalam salah
satu do’a qurban : “ Bismillahi Wallahu akbar, Allahumma minka Walaka” Dengan nama Allah
dan Allah Maha besar. Artinya : “Ya Allah ini dari-Mu dan hanya untuk-Mu.”
Namun
disini ada hal yang harus diperhatikan, yaitu agar kurban seorang memiliki
nilai dan makna disisi Allah maka hendaknya dia tulus dalam berkurban karena
Allah dan mengikut terhadap tuntunan Nabi. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
Artinya :“Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam,tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah).”(QS. Al
An’am: 162-163)[3]
Jangan
ada niatan pamer dan membanggakan diri di hadapan orang lain, namun semata-mata
mencari ridho Allah. Demikian pula jangan sampai seorang berkurban atau
menyembelih binatang untuk selain Allah dan menyembelih dengan menyebut nama
selain Allah. Apakah dengan niatan sedekah laut, sedekah gunung, sawah dan
semisalnya, karena orang yang melakukan ini mendapat ancaman kutukan dari Allah
Jadi
Implementasi dari berqurban dalam makna yang lebih luas adalah mengorbankan apa
saja yang kita miliki dan apa saja yang kita cintai baik itu tenaga, ilmu,
harta jabatan, posisi dan apapun yang kita miliki dalam rangka untuk mentaati
dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Tidak akan sampai kepada ketaatan yang
sebenarnya sebelum mengorbankan apa yang kita cintai.
Jadi
bukti cinta kita kepada Allah adalah mengorbankan apapun yang kita cintai. Dan
janganlah kamu memilih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.
Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Memberi
sekedarnya mungkin menyenangkan hati orang yang kekurangan, tapi apa yang kita
lakukan itu belum menyehatkan spritual kita , penyakit cinta dunia masih
bercokol dalam hati, kita masih pelit, kita masih kikir, sombong, serakah
walaupun kita sudah menyembeli/membunuh binatang tapi kita belum bisa membunuh
sifat kebinatangan kita. Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya:“kamu
tidak akan memperoleh kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menginfakan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa yang kamu infakan tentang hal itu
sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (Al Qur’an surat Ali Imran : 92).[4]
Orang
yang beriman tujuan tertinggi dalam hidupnya bukanlah mereguk kesenangan
duniawi, tetapi mendapatkan ridha Allah, inilah jalan tauhid Nabi Ibrahin As, para
Nabi, siddiqin, syuhada shalihin. Boleh saja menikmati dunia, tapi jangan
sampai melalaikan ridha Allah. Segala hal yang menghalangi ataupun menghambat
perjalanan menuju ridha Allah haruslah di tinggal atau di korbankan. [5]
Seorang
yang enggan berkorban di jalan Allah, menandakan hatinya telah menjadikan dunia
sebagai tambatan hati. Ia telah membuat hijab sehingga perjalanan hidupnya
terhenti pada atau terhambat pada sesuatu yang dicintainya itu. ia lupa bahwa
ada yang mesti dituju dalam perjalanan hidup ini yang lebih penting, lebih
utama dan lebih menjanjikan dari pada kesenangan duniawi.
Karena
itu ada saatnya seorang harus berani mengorbankan sesuatu yang dicintainya demi
meraih ridha Allah. Seorang yang mampu memberikan sesuatu yang dicintainya telah
membuka penghalang hatinya untuk kian mendekat kepada Allah. Harta dunia yang
di korbankan di jalan Allah itulah yang bernilai dan berharga di sisi-Nya.
Ia menjadi sarana ketaatan dan ibadah kepada Allah. Allahlah sumber
kebaikan. Dengan berkorban dan mendekatkan diri kepada Allah.
Kita
akan mendapatkan curahan kebaikan abadi yang banyak. Karena memang dihadapan
Allah kebaikan seseorang dinilai bukan dari banyaknya sesuatau yang diambil
selama di dunia ini, tetapi seberapa banyak sesuatu yang di korbankan di
sisi Allah Swt.
B. MAKNA BERQURBAN
Orang
yang beriman tujuan tertinggi dalam hidupnya bukanlah mereguk kesenangan
duniawi, tetapi mendapatkan ridha Allah, inilah jalan tauhid Nabi Ibrahin As,
para Nabi, siddiqin, syuhada shalihin. Boleh saja menikmati dunia, tapi jangan
sampai melalaikan ridha Allah.
Segala
hal yang menghalangi ataupun menghambat perjalanan menuju ridha Allah haruslah
di tinggal atau di korbankan. Seorang yang enggan berkorban dijalan Allah,
menandakan hatinya telah menjadikan dunia sebagai tambatan hati. Ia telah
membuat hijab sehingga perjalanan hidupnya terhenti pada atau terhambat pada
sesuatu yang dicintainya itu. ia lupa bahwa ada yang mesti dituju dalam
perjalanan hidup ini yang lebih penting, lebih utama dan lebih menjanjikan dari
pada kesenangan duniawi.
Hari
selasa besoki tanggal 15 Oktober 2012 ummat Islam sedunia telah berkumpul untuk
siap-siap menuju Arafah untuk wukuf. Mereka datang ke sana memenuhi panggilan
Allah SWT untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka berpakaian seragam
putih-putih, datang dari segenap pelosok dunia, berbeda-beda warna kulitnya,
bahasanya, kebangsaannya dan status sosialnya. Sejak mereka meninggalkan tanah
air menuju Mekkah, segala atribut keduniaan telah mereka tinggalkan. Apakah itu
atribut yang berupa pakaian kedinasan, bintang kehormatan, gelar kesarjanaan
dan lain sebagainya.
Di
sana tak ada lagi diskripsi kerena perbedaan golongan, jenis, pangkat, suku
ataupun status sosial. Yang ada hanyalah pertujukan secara komunal kebersamaan
dan yang memegang peranan dalam pertunjukan ini adalah masing-masing pelaksana
ibadah haji tersebut. Setiap orang diantara mereka dipandang sama.
Suasana
klimaks dan puncak pelaksanaan ritual dan seremonial ibadah haji ini, adalah
pada tanggal 9 Dzul-Hijjah, ketika mereka melakukan wukuf di padang Arafah.
Sementara
kita yang berada di tanah air yang tidak berkesempatan untuk melaksanakan
ibadah Haji, juga diberikan peluang untuk memperbanyak ibadah yakni pada hari
ini disunatkan berpuasa, yang disebut Puasa Arafah. Tidak ada suatu hari yang
Allah lebih banyak membebaskan seorang hamba dari api neraka melainkan hari
Arafah.
Agama
mengajarkan bahwa semua ibadah hendaknya dilakukan semata-mata ikhlas karena
Allah. Tak terkecuali ibadah haji dan ibadah kurban yang akan kita laksanakan
pada tanggal 10 Zulhijjah. Karena hanya dengan niat yang terikhlaslah, akan
terjamin kemurnian ibadah yang akan membawa pelaksanaannya dekat kepada Allah.
Tanpa adanya keikhalsan hati, mustahil ibadah akan diterima Allah.
Dalam
kaitan dengan ibadah kurban, Allah menegaskan bahwa daging hewan yang
dikurbankan itu tidak akan sampai kepada-Nya hanyalah ketaqwaan pelaksana
kurban itu . Jadi Allah tidak mengharapkan daging dan darah hewan kurban itu,
tetapi mental ketaqwaan ini tidak akan tumbuh di hati yang bersih dan ikhlas.
Karena
itu ada saatnya seorang harus berani mengorbankan sesuatu yang dicintainya demi
meraih ridha Allah. Seorang yang mampu memberikan sesuatu yang dicintainya
telah membuka penghalang hatinya untuk kian mendekat kepada Allah. Harta dunia
yang di korbankan di jalan Allah itulah yang bernilai dan berharga di sisi-Nya.
Ia menjadi sarana ketaatan dan ibadah kepada Allah.
Allahlah
sumber kebaikan. Dengan berkorban dan mendekatkan diri kepada Allah. Kita akan
mendapatkan curahan kebaikan abadi yang banyak. Karena memang dihadapan Allah
kebaikan seseorang dinilai bukan dari banyaknya sesuatau yang diambil selama di
dunia ini, tetapi seberapa banyak sesuatu yang di korbankan di sisi Allah
Swt.
Berqurban yang benar-benar ikhlas mencari ridla Allah
Swt mengandung makna yang begitu besar bagi setiap muslim, diantaranya :
1. BERQURBAN ADALAH KESETIAAN
Melaksanakan qurban memiliki makna yang bukan sekedar
memotong hewan lalu membagikan kepada masyarakat untuk disantap. Qurban
memiliki makna filosofi yang sangat mendalam, yakni kesetiaan.
Ingat bahwa asal muasalnya perayaan Idhul Adha atau sering juga disebut sebagai Idhul Qurban adalah ketika Allah SWT menguji kesetiaan Nabi Ibrahim A.S, kepada Allah SWT dengan menyerahkan putra yang sangat dicintainya Ismail kepada Allah SWT sebagai qurban. Allah SWT ingin mengetahui hati dan perasaan Nabi Ibrahim A.S, apakah ia lebih mencintai anaknya ataukah Allah SWT.
Ingat bahwa asal muasalnya perayaan Idhul Adha atau sering juga disebut sebagai Idhul Qurban adalah ketika Allah SWT menguji kesetiaan Nabi Ibrahim A.S, kepada Allah SWT dengan menyerahkan putra yang sangat dicintainya Ismail kepada Allah SWT sebagai qurban. Allah SWT ingin mengetahui hati dan perasaan Nabi Ibrahim A.S, apakah ia lebih mencintai anaknya ataukah Allah SWT.
Di jaman seperti sekarang ini, makna qurban mengingatkan
manusia, apakah masih ada kesetiaan kita kepada Allah SWT, apakah didalam kita
beribadah kita masih bertransaksi dengan Allah SWT dengan mengharapkan imbalan
berupa pahala.
Jangankan anak kita yang diminta agar diqurbankan untuk
Allah SWT, untuk beribadah saja, kita masih berpamrih meminta upah “pahala”
kepada Allah SWT.
Dengan memahami arti pertama dari berqurban, maka kita akan
lebih memaknai perayaan Idhul Qurban secara lebih khusyuk, tidak sekedar
bergembira karena memperoleh bagian dari hewan yang dijadikan qurban.
2. BERQURBAN ADALAH BERBAGI
Makna lain dari ibadah berqurban adalah “BERBAGI” artinya
memberikan sebagian kenikmatan yang kita miliki bagi orang lain yang kurang
mampu.
Pada dasarnya perintah berqurban itu ditujukan kepada semua
orang. Jika makna awal berqurban adalah kesetiaan, maka perubahan jaman juga
menyebabkan pergeseran pengertian yang lebih komprehensif atau luas
pengertiannya, yakni membantu orang-orang yang kurang mampu dalam melaksanakan
qurban.
Banyak masyarakat di lingkungan kita yang untuk menikmati
daging saja harus menunggu saat perayaan Idhul Adha, karena ketidakmampuan
ekonomi. Idhul Adha adalah waktu yang tepat, bagi kita yang mampu untuk
“berbagi” dengan mereka.
Adapun orang yang dikategorikan mampu dalam hal iniadalah
dia yang tidak perlu orang kaya, karena
berqurban bisa dilakukan, orang yang “tidak kaya” yakni dengan cara kolektif
atau urunan, yang penting adalah Ikhlas. Tidak ada dalih apapun yang bisa
dijadikan sebagai alasan bagi kita untuk tidak berqurban, karena jika kita ingat
kesetiaan kepada Allah SWT dan berbagi bagi sesama yang tidak mampu.
3. BERQURBAN ADALAH KEIKHLASAN
Untuk mampu melaksanakan ibadah qurban, seseorang harus
memiliki keikhlasan. Sama dengan berkorban jika seseorang berkorban untuk
sesuatu hal yang ia yakini, maka hal itu pasti ia lakukan dengan sukarela tanpa
tuntutan atau pamrih.
Untuk dapat bersikap ikhlas, bukan suatu yang mudah, karena
pada hakekatnya, manusia sudah terbiasa dengan segala hal yang sifatnya
transaksional.
Ikhlas adalah tanpa pamrih, sehingga untuk sesuatu yang
dalam perhitungan tidak mendatangkan keuntungan, umumnya sulit untuk diterima.
Manusia sudah dikuasai dunia yang serba kapitalis, tidak ada lagi yang gratis,
semua harus bayar. Sampai dengan membuat hajat saja, kita diwajibkan untuk
membayar.
Pengaruh hal semacam itu dalam kehidupan, telah menggiring
kita pada sikap yang sama, yakni pada saat berhubungan dengan Allah SWT. Tidak
kurang manusia yang mengejar beribadah karena iming-iming pahala.
Pada ibadah qurban, yang dituntut adalah keikhlasan semata.
Tanpa keikhlasan ibadah itu hanya menjadikan manusia yang bertopeng
kemunafikan. Bisa dibayangkan seorang yang “merasa” dirinya mampu berqurban,
melaksanakan ibadah qurban hanya untuk dipuji oleh orang lain.
Kita menjalankan ibadah apapun, salah satunya ibadah qurban,
untuk mencari ridho Allah SWT, menunjukkan kesetiaan kita kepada Allah SWT
serta berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu, bukan untuk bersaing mencari
kepuasan duniawi, dengan berbagai pujian yang malah akan menjerumuskan kita
pada kesesatan.
Manusia yang mampu beribadah dengan keikhlasan akan
merasakan kenikmatan yang luar biasa, mata hatinya akan terus dibukakan oleh
Allah SWT, untuk melihat dan menikmati rasa syukur yang tak habis-habisnya.
Nikmatilah kebahagiaan ketika kita suatu saat bisa bertatap mata dan
menyerahkan secara langsung sedekah kepada anak yatim, di mata mereka kita bisa
melihat, kebesaran dan kasih sayang Allah SWT.
C. BERQURBAN
DENGAN RIDLA ALLAH
Berqurban adalah ibadah, jika
dilakukan tanpa didasari dengan iman maka manusia akan merasa menjadi “korban”,
karena pada awal tulisan ini, penulis sudah sampaikan, bahwa jika perbuatan
apapun bentuknya, jika di dalam hatinya terdapat ketidakrelaan atau ketidakikhlasan,
maka perbuatan itu akan menyiksa batinnya. Perbuatan itu dilakukan karena
keterpaksaan belaka. Akhirnya “pengorbanan” yang dilakukannya malah menjadikan
dirinya sebagai “korban” keterpaksaan.
Ketika seseorang ingin ikut
melaksanakan ibadah qurban, ia harus memahami benar bahwa apa yang diberikan
bagi orang lain itu akan beralih sepenuhnya, artinya ia harus melepaskan haknya
untuk diberikan secara ikhlas kepada orang lain, tanpa ia memiliki hak untuk
ikut menikmati atau memintanya kembali.
Kesalahkaprahan yang saat ini
terjadi di dalam masyarakat, khususnya umat Islam dalam ibadah qurban adalah
antara orang yang berqurban (artinya mereka yang sebenarnya mampu dan
berpenghasilan) dengan masyarakat yang menerima qurban saling berebut,
ironisnya adalah orang yang akan berqurban sudah memesan kepada petugas yang
memotong hewan qurban, bagian-bagian dari tubuh hewan qurban yang ia inginkan.
Kejadian seperti ini dapat kita
temukan hampir di semua tempat pemotongan hewan qurban dan seolah-olah hal seperti
itu sudah menjadi tradisi bahkan kebiasaan bagi orang yang berqurban.
Jika demikian halnya, dimana letak
esensi kita dalam berqurban, bukankah ini adalah contoh yang penulis gambarkan
di bab sebelumnya, yakni “berqurban dengan pamrih”
Berqurban bukan sekedar kita mampu
dan memiliki uang untuk membeli hewan qurban untuk disembelih dan dibagikan
kepada orang lain, lalu perbuatan itu sudah bisa disebut sebagai berqurban.
Janganlah sampai kita berbuat
seolah-olah kita sudah beribadah, ternyata perbuatan itu hanya sia-sia, seperti
orang yang berangan-angan untuk meng-asin-kan laut dengan membuang garam ke
laut, ternyata percuma.
Berqurban identik dengan berkorban.
Setiap orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah qurban, harus mempersiapkan
fisik, mental dan spiritualnya, karena akan ada sesuatu yang hilang atau
berkurang pada dirinya pada saat berqurban, misalnya yang paling terasa adalah
sejumlah uang yang digunakan untuk membeli hewan qurban atau menahan nafsu
untuk tidak menginginkan sedikitpun dari apa yang sudah ia korbankan untuk
berqurban. Implementasi berqurban karena mengharap ridla Allah diantaranya:
1. Menegakkan
peribadahan kepada Allah Swt
Allah
menjelaskan bahwa ibadah qurban sebagai
salah satu bentuk penegakan perintah dan penyerahan diri kepada-Nya disertai dengan taqwa dan keikhlasan
sebagaimana firman Allah Swt dalam Surat Al Hajj (22) : 37
Artinya
: “Daging-daging dan darah (unta) itu sekali-kali tidak dapat mencapai
keridla-an Allah Swt, tetapi ketaaqwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya “
(Surat Al Hajj : 37)[6]
2.
Ibadah qurban sebagai sarana untuk melaksanakan
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Diawali dengan usaha untuk
mengalahkan dorongan hawa nafsu. Sesungguhnya di dalam mengarungi kehidupan,
terkadang timbul pemikiran bahwa banyak hal yang belum dilaksanakan dan banyak
pula harapan yang belum terlaksana, kini sudah sampai lagi pada bulan
Dzulhijjah, bulan dimana setiap muslim diperintahkan melaksanakan pemotongan
hewan qurban.
Dengan demikian hendaknya dapat
menahan hawa nafsu, dengan menunda kebutuhan-kebutuhan yang tidak terlalu
mendesak untuk diarahkan pada pelaksanaan qurban. Sesungguhnya qurban yang
diwujudkan dengan pemotongan hewan qurban adalah sebagai lambang dari
pemotongan nafsu hayawaniyah, sebagaimana sifat serigala yang merupakan simbol
kekejaman dan suka menindas, sifat tikus sebagai lambang dari sifat keji dan
kelicikannya, sifat anjing adalah sebagai sifat dari tipu muslihatnya, sifat
domba adalah sifat manusia yang suka menghambakan pada manusia.
3.
Ibadah qurban akan mewujudkan rasa persaudaraan, sikap
suka menolong terhadap sesama.
Setelah berqurban maka Allah akan
melihat keimanan dan ketaqwaanya, dengan demikian Allah SWT akan memberikan
rahmat kepada hambanya, sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat
Ath-Thalaq: 2-3:
Artinya :’...
barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan
keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya, dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. “(Ath Thalaq : 2-3)[7]
Beruntunglah menjadi muslim yang
setiap tahun dapat melaksanakan qurban. Begitu pula sangat beruntung bagi
orang-orang Islam yang bisa melaksanakan ibadah haji, karenanya hidupnya,
kesehatannya, harta dan ilmunya digunakan untuk perjuangan dan kemajuan Islam.
Akhirnya mereka dalam seluruh kehidupannya dapat memberikan kemanfaatan bagi
masyarakat, nusa, bangsa dan agama serta dapat menjadi teladan di tengah-tengah
masyarakat.
D. PENUTUP
Dalam pelaksanaan ibadah qurban
sangat sangat dituntut adanya keikhlasan yang tumbuh dari dalam hati, sehingga
dengan keikhlasan, ibadah qurban kita akan diterima di sisi Allah Swt. Dengan
adanya ritual ibadah qurban, diharapkan dapat menumbuhkan dan mengasah
keikhlasan, karena dengan keikhlasan sebagaimana keimanan akan selalu naik dan
turun , menguat dan melemah. Oleh sebab itu , tujuan ibadah qurban (juga ibadah
yang lainnya) bujan hanya untuk kemaslahatan ukhrowi tapi juga bertujuan bagi
kemaslahatan duniawi.
Minimal ada dua hal yang menjadi
esensi manusia dalam melaksanakan ibadah qurban, yaitu :
a. Dengan berqurban kita menyatakan
kesetiaan kita kepada Allah SWT, bahwa walaupun kita telah diberkati dengan
rejeki yang cukup atau berlimpah, kita tidak diperbudak oleh uang, kita tetap
ingat bahwa di dalam rejeki yang diberikan Allah SWT, ada sebagian kecil milik
kaum dhuafa dan anak yatim, sehingga kita wajib berbagi dengan mereka, salah
satunya melalui qurban.
b. Dengan berqurban kita menyatakan
keikhlasan kita, dengan mengorbankan sebagian dari kenikmatan yang kita miliki,
untuk dinikmati orang yang tidak mampu berqurban, sebagai rasa syukur atas
semua kelebihan yang telah diberikan Allah SWT kepada kita selama ini.
Akhirnya marilah kita memohon
kehadirat Allah agar qurban yang kita laksanakan dapat berkembang dan
membuahkan semangat berqurban, suka menginfaqkan harta benda, ilmu dan
tenaganya, waktu sehat, sempat dan seluruh hidupnya kita gunakan untuk
menyempurnakan ibadah dan mengharap ridla Allah Swt.
Ibadah
kurban mempunyai hikmah untuk membersihkan hati agar menjadi lahan yang subur
untuk tumbuhnya iman dan taqwa. Dengan demikian, dimensi keikhlasan sudah
seharusnya menjadi landasan setiap amal perbuatan manusia, agar manusia
mengorientasikan kehidupannya semata-mata untuk mencapai ridha Allah SWT.
Dengan ikhlas beramal, berarti seseorang membebaskan dirinya dari segala bentuk
rasa pamrih, agar amal yang diperbuat tidak bernilai semu dan bersifat palsu.
Dengan keikhlasan, seseorang dapat mewujudkan amal sejati. Kesejatian setiap
amal diukur dari sikap keikhlasan yang melandasinya. Dan kesediaan berkurban
yang dilandasi rasa keikhlasan semata-mata, dapat mengurangi atau mengekang
sifat keserakahan dan ketamakan manusia untuk berlaku serakah dan tamak, namun
kecenderungan itu dapat dieliminir dengan membangkitkan kesadarannya agar
bersedia berqurban untuk sesamanya. Kesediaan berkurban mencerminkan adanya
pengakuan akan hak-hak orang lain, yang seterusnya dapat menumbuhkan rasa
solidaritas sosial yang tinggi.
Semoga
amalan kita bertambah dari tahun yang telah lalu dan dosa kita diampunkan oleh
Allah SWT. Mari kita gunakan segala peluang yang ada demi menambah bekal
akhirat kita sebelum bertemu dengan-Nya di hari yang tidak ada pertolongan lain
selain mereka yang menemui-Nya dalam keadaan hati yang bersih dan selamat daripada
kekotoran dosa dan noda.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al Jumanatil Ali Al Qur’an dan Terjemahnya,
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al qur’an, Syaamil Al Qur’an Terjemah
Pra-Kata, Syaamil International, 2007
Shihab, Quraish,
Membumikan
Al Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Mixan
media Ummat/MMU, Cet. III, 2009
By : Nurhajs (KUA Wonosari Gunungkidul Yogyakarta)
[1]
Departemen Agama RI, Al Jumanatil Ali Al Qur’an dan Terjemahnya,Yayasan
Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al Qur’an, Syaamil Al qur’an Terjemah Per-kata, Syaamil International, 2007,
hlm. 336.
[3] Ibid, hlm. 150.
[4] Ibid, hlm.
61
[5]
Quraish Shihab, Quraish, Membumikan Al Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat), (Mixan media Ummat/MMU, Cet. III, 2009), hlm.230.
[6]
Ibid,
hlm. 336.
[7]
Ibid, hlm. 558.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar